Senin, 12 Juni 2017

Etika dan Moralitas Sebagai Sebuah Keharusan

Oleh:
DEDE ANDREAS

         Dalam kehidupan sehari-hari mungkin kita sering mendengarkan yang namanya etika dan moralitas, dan bahkan kita juga tentunya paham dan selalu berusaha untuk bertindak atau melakukan segala sesuatu sesuai dengan etika dan moralitas tersebut. Namun pernahkah kita berfikir mengapa seolah-olah kita ini harus menjadikan etika dan moralitas tersebut sebagai suatu kewajiban. Dan mengapa pula etika dan moralitas tersebut apabila kita langgar akan mengakibatkan suatu pandangan atau hal yang tidak baik bagi kita. Sebenarnya seberapa pentingkah etika itu untuk kita lakukan dan dijadikan sebagai sebuah keharusan.
        Sebelum kita membahas lebih lanjut mengani mengapa etika dan moralitas tersebut menjadi sebuah keharussan bagi kita. Kita perlu tau dan paham dulu apa yang dimaksud dengan etika dan moralitas tersebut.  Menurut Maryani dan Ludigdo, etika merupakan seperangkat aturan, norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang dianut oleh sekelompok atau segolongan masyarakat atau profesi. Drs. Sidi Gajabla dalam sistematika filsafat mengartikan etika sebagai teori tentang tingkah laku, perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk sejauh yang dapat ditentukan oleh akal. Sedangkan untu pengerian moral dalam kamus psikologi (Chaplin, 2006): Dituliskan bahwa moral mengacu pada akhlak yang sesuai dengan peraturan sosial, atau menyangkut hukum atau adat kebiasaan yang mengatur tingkah laku.
        Dari defenisi yang diberikan tersebut kita dapat lihat bahwa disitu dikatakan baik etika maupun moralitas tersebut merupakan sebuah aturan yang ditujukan untuk memperbaik dan membuat tingkah laku dari manusia menjadi lebih baik lagi. Etika dan moralitas merupakan suatu hal yang harus dilakukan manusia karena etika dan moralitas tersebut merupakan batasan-batasan manusia dalam melakukan sesuatu, artinya dalam kehidupan ada hal-hal tertentu yang tidak bisa kita lakukan sesuka hati. Karena seperti yang kita tau tidak semua hal yang kita lakukan itu benar, kadang apa yang kita lakukan tersebut bisa saja menggangu orang lain dan dipandang salah. Oleh karena itulah pemahaman akan etika dan moralitas tersebut perlu benar-benar dipahami dan diimplementasikan dengan baik baik oleh semua kalangan. Tujuan agar semua orang bisa saling menhormati dan ada toleransi antara satu dengan yang lainnya.
        Baik etika maupun moralitas kedua hal ini merupakan sebuah pemahaman atau kesepakatan yang dibuat oleh manusia untuk kepentingan bersama. Kesepatakan mengenai etika dan moralitas tersebut bisa bersifat secara umum atau kusus. Contoh sederhana mengenai etika dan moralitas secara umum adalah seperti menghormati orang yang lebih tua. Kemudian contoh sederhana untuk etika dan morlitas kusus seperti orang tua yang melarang anaknya keluar rumah untuk jalan-jalan apabila sudah lewat dari pukul sembilan malam. Baik secara umum dan kusus etika tersebut merupakan sebuah kesepakatan yang dibuat untuk membuat suatu hal menjadi lebih baik lagi.
         Selain itu etika dan moralitas juga bisa bersifat tertulis atau tersirat. Etika dan moralitas yang bersifat tertulis sederhananya seperti dilarang meroko diruangan ini. Kemudian yang bersifat tersirat sederhananya seperti dilarang ribut saat dosen sedang menjelaskan materi perkuliahan. Etika dan moralitas tersebut akan selalu ada untuk mengatur tingkah laku manusia, namun etika tersebut seiring dengan perkembangan jaman bisa saja mengalami perubahan tergantung dari kesepakatan dan aturan yang mengatur masalah etika dan moralitas tersebut.
         Berdasarkan penjelasan tersebut saya menyimpulkan etika dan moralitas merupakan sebuah keharusan karena etika dan moralitas tersebut merupakan sebuah aturan yang ditetapkan atau disepakati secara bersama untuk membuat segala sesuatu bisa berjalan dengan baik, dan ada sebuah toleransi yang baik antara satu dan lainnya. Tanpa etika dan moralitas maka hanya akan sebuah kekacauan yang akan terjadi, semua orang tentunya hanya akan memikirkan kepentingan dirinya pribadi. Untuk menghindari kekacauan tersebut maka itulah yang menjadi alasan mengapa etika dan moralitas tersebut menjadi sebuah keharusan yang harus lakukan manusia. Dengan adanya etika dan moralitas tersebut maka diharapkan semua orang bisa menjadi lebih baik lagi. Semuanya akan terasa indah apabila ada suatu tingkah laku yang baik karena adanya etika dan moralitas tersebut. Etika dan moral merupakan keharusan yang harus dimiliki oleh manusia.

Rabu, 07 Juni 2017

Elite Theory, Institusionalisme, Group Theory, Political System Theory



Elite Theory 
Teori elit (Elite Theory), adalah sebuah teori yang dianggap selalu mengalir dari atas ke bawah (top-down), yakni dari elit ke massa/rakyat; kebijakan publik itu dengan demikian tidak akan pernah muncul dari bawah (bottom-up) atau berasal dari tuntutan-tuntutan rakyat. Ditilik dari lensa konseptual model elit ini, maka jelas partisipasi rakyat atau keterlibatan publik (publik involvement) dalam proses perumusan kebijakan dan proses implementasi kebijakan publik di abaikan.” (Prof. Solichin Abdul Wahab, 2008, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, hal 80
Elite theory dalah teori yang menganggap kebijakan publik di suatu negara atau daerah dibuat oleh ruling elite. Berdasarkan nilai dan preferensi mereka, rakyat banyak (massa) tidak mempunyai akses dalam formulasi maupun implementasi kebijakan. Elite theory berdasarkan pada asumsi bahwa dalam negara yang bersangkutan, sistem pemerintahannya belum didukung oleh budaya politik yang demokratis. Secara formal mungkin sistem pemerintahannya adalah demokratis tetapi dalam realitas belum berfungsi dengan efektif
Thomas Dye dan Harmon Ziegler (1970) mengatakan sebagai berikut:
  • Masyarakat terbagi dalam sekelompok kecil yang sangat berkuasa dan sekelompok lain yang tidak berdaya yang tergantung pada kemauan kelompok kecil sebagai ruling elite tersebut.
  • Kelompok elit yang berkuasa ini berasal dari golongan menengah ke atas.
  • Perpindahan dari kelompok non elit ke dalam kelompok elit sangat terbatas untuk menjaga stabilitas dan kelangsungan hidupnya. Hanya mereka yang sudah menerima basic elite consensus yang dapat diterima.
  • Kebijakan publik dibuat untuk kepentingan ruling elite, dan tidak mencerminkan kebutuhan dan keinginan massa.
  • Perubahan kebijakan publik hanya bersifat inkremental dan tidak revolusioner.
  • Kelompok elit lebih banyak mempengaruhi massa, dari pada sebaliknya.

Contoh Elite Theory :
  • Kebijakan yang dilakukan untuk merevisi KPK, yang cenderung melemahkan KPK dalam menyelidiki dan memberantas KKN.
  • Pada masa orde lama adanya kebijakan dekrit presiden 5 Juli 1959, karena itulah Indonesia pada masa itu menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang secara langsung maupun tidak langsung membuat keleluasaan untuk presiden Soekarno pada waktu itu mengarahkan arah perekonomian Indonesia, yang saat itu menjurus kepada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). 
  •  Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing, pada eranya Presiden Megawati.

Institusionalisme 
Institusionalisme adalah studi kebijakan berdasarkan pendekatan formal terhadap peranan institusi pemerintahan yang terkait dalam formulasi dan implementasi suatu kebijakan. Misalnya, dewan perwakilan rakyat, eksekutif, badan peradilan dan partai-partai politik. Aspek-aspek formal dari institusi-institusi tersebut mencakup: kewenangan hukum, peraturan prosedural, fungsi-fungsi dan kegiatan-kegiatannya.

Contoh Institusionalisme :
  • Kebijakan yang menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama penyaluran dana dari APBN dan APBD. Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 Amandemen ke 4 mengamanatkan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Hal ini dikuatkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 013/PUU-VI/2008, Pemerintah harus menyediakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
  • Kebijakan untuk memberikan otonomi kepada daerah agar daerah lebih leluasa untuk mengatur dan menggali potensi-potensi yang dimiliki. Yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
  • Kebijakan untuk  mengembangkan potensi dan membangun sarana prasana desa melaluli LPMP.

      Group Theory 
Adalah teori yang menganggap kebijakan publik sebagai produk dari perjuangan kelompok. Kebijakan publik merupakan titik equilibrium dalam suatu perjuangan antar kelompok. Penekanan pada bagaimana peranan political interests group dalam proses formulasi dan implementasi kebijakan.
Contoh Group Theory :
  • Kebijakan untuk memberikan hak istimewa kepada daerah-daerah terntentu. Contohnya seperti : Aceh, Papua, Yogyakarta.
  • Kebijakan pemberlakuan kembali kuota 30 persen perempuan dalam pemilihan legislatif. Kuota itu tercantum dalam UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
  • Kebijakan untuk memperoleh hak pemekaran daerah apa bila sudah memenuhi syarat dan criteria yang berlaku.
  
Political System Theory 
Adalah teori yang menganggap kebijakan publik sebagai respons sistem politik terhadap permintaan yang muncul dalam masyarakat lingkungannya. Input dari lingkungan berupa permintaan (demands) dan dukungan (supports). Dukungan ini dapat dalam bentuk kepatuhan terhadap hukum, membayar pajak, memilih dalam pemilu, dan sebagainya. Selanjutnya, kebijakan (policy) dapat mempengaruhi masyarakat dan pada gilirannya akan mempengaruhi permintaan baru terhadap para pembuat kebijakan.
Contoh Political System Theory :
  • Kebijakan mengenai kantong plastik berbayar dengan harga minimal Rp. 200,- yang akan mulai diberlakukan pada 21 Februari 2016, di 23 kota. Dua puluh tiga kota tersebut yakni DKI Jakarta, Bandung, Bekasi, Depok, Bogor, Tangerang, Solo, Semarang, Surabaya, Denpasar, Palembang, Medan, Balikpapan, Banjarmasin, Makassar, Ambon, Jayapura, Malang, Pekanbaru, Aceh, Kendari, Yogyakarta dan Tangerang Selatan.
  • Kebijakan untuk mebayar Pajak Bumi dan Bangunan  untuk membantu keuangan daerah dan mempercepat proses pembangunan. 
  • Mengikuti wajib belajar 9 tahun.
  • Menggunakan hak untuk memilih dalam pemilihan umum.
  • Melaksanakan peraturan daerah yang telah ditetapkan dan berlaku di suatu daerah.


Rabu, 20 April 2016

Pro dan Kontra Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 15 Tahun 2010

Oleh :
DEDE ANDREAS
Topik : Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Perubahan Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah

Pro (setuju) Terhadap Pencabutan Pergub Kalteng No. 15 Tahun 2010
Alasan :

  • Kerusakan hutan di Kalimantan Tengah setiap tahunnya meningkat, berdasararkan data dinas kehutanan tahun 2010, luas lahan kritis di Kalimantan Tengah mencapai tujuh juta hektar lebih. Data badan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Kahayan, dari luas hutan Kalteng yang tersisa saat ini, sekitar 7,27 juta mengalami kerusakan mencapai 150.00 hektar per tahun. Dan dengan adanya ijin pembakaran hutan melalui Pergub Kalteng No. 15 Tahun 2010 maka hal ini tentu saja akan menambah lagi peluang kerusakan hutan dan memperbanyak lagi lahan kristis di Kalimantan Tengah.
  • Adanya ijin untuk pembakaran lahan melalui Pergub Kalteng No. 15 Tahun 2010 juga berpontensi untuk mengakibatkan kelangkaan flora dan fauna di Kalimantan Tengah. Cotohnya seperti meninggalnya orang hutan akibat kebakaran lahan, hangusnya anggrek-angrek khas Kalimantan Tengah dan sebagianya lagi.
  • Pergub Kalteng No. 15 Tahun 2010 dalam proses implementasinya tidak berjalan dengan baik hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya lahan-lahan yang terbakar. Selain itu mirisnya lagi kebakaran hutan tersebut berimbas pada kabut asap yang memakan banyak dana untuk proses penanggulangannya. Kabut asap tersebut menguras dana APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Nasional) dan APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) yang cukup besar. Hal tersebut dibuktikan dengan keterangan berikut ini :
“Sekitar Rp 1.350.000.000 yang kita keluarkan untuk tanggap darurat asap Kalteng dan itu semuanya ada di BPBD Kalteng yang mengelolanya,” ujar Yuman P Ranan kepada Kalteng Pos beberapa waktu lalu. Anggaran tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Pemprov Kalteng.” Selain itu, pemprov juga mengusulkan bantuan dana ke Pusat melalui Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) sebesar Rp 7 miliar.  (Sumber Kalteng Pos)

Kontra (tidak setuju)  Terhadap Pencabutan Pergub Kalteng No. 15 Tahun 2010
Alasan :

  • Membakar adalah tradisi yang telah turun temurun dilakukan oleh masyarakat dayak Kalimantan Tengah, tujuan dari pembakaran hutan tersebut adalah untuk membuka ladang dan bercocok tanam bukan untuk merusak lahan apa lagi menyebabkan bencana kabut asap. Selain itu masyarakat dayak juga sangat menghargai alamnya, hal itu dibuktika dengan penanaman padi, sayuran dan pohon karet setelah pembakaran hutan itu dilakukan yang nantinya akan difungsikan sebagai tempat untuk mata pencarian masyarakat. Oleh karena alasan itu maka dibuwatlah Pergub Kalteng No. 15 Tahun 2010, dengan tujuan untuk menghargai kearifan lokal dan tradisi dari masyarakat dayak serta memberikan kewenangan bagi masyarakat daerah untuk membakar lahan namun dengan batas-batas tertentu yang telah ditetapkan. Seandainya Pergub Kalteng No. 15 Tahun 2010 ini dicabut, dan masyarakat dilarang untuk membakar hutan lalu bagaimana nasib dari masyarakat yang menggantungkan hidupnya dengan berladang. Bukankah sebelumnya larangan untuk membakar lahan sudah pernah dilakukan dan diterapka namun berimbas pada pelemahan perekonomian masyarakat masyarakat  dayak. Bagaimana dengan tradisi dan budaya masyarakat dayak dalam berocok tanam apakah akan dilupakan?
  • Pergub Kalteng No. 15 Tahun 2010 adalah peraturan yang mengatur pembakaran lahan bagi masyarakat, sedangkan mayoritas pembakaran hutan yang terjadi yang berujung pada bencana kabut asap dilakukan oleh perusahaan. Kenapa tidak peraturan yang menyangkut tentang perusahan tersebut yang dipermasalahkan? Untuk perusahaan itu diatur dalm UU Perkebunan,  UU Lingkungan Hidup, UU Kehutanan. Logikanya masyarakat tidak mungkin berani untuk membakar lahan yang sangat luas, kalaupun ada yang masyarakat yang tertangkap mereka tersebut hanyalah orang-orang yang dibayar oleh oknum-oknum tertentu. Karena seperti yang kita tau masyarakat sekarang pola pikirnya sudah berubah, mereka lebih baik untuk mengelola tanahnya sendiri dibandingkan dijual ke perusahaan-perusahaan. Hal inilah yang kadang membuat guyar para perusahaan sehingga mereka melakukan hal-hal yang bersifat memaksa agar masyarkat menjual lahannya, hal-hal yang mereka lakukan yaitu dengan sengaja membakar lahan-lahan milik masyarakat sehingga mau tidak mau masyarakat yang lahannya terbakar, apalagi itu adalah lahan kebun karet terpaksa untuk menjual lahanya untuk kerperluan hidup dan sekolah anaknya karena tempat mata pencarian mereka telah habis hangus terbakar.
  • Sebenarnya penekanan utama dari permasalahan pembakaran lahan tersebut tidak terletak pada Pergub Kalteng No. 15 Tahun 2010 namun lebih ke pada kesadaran masyarakat dan penciptaan lapangan pekerjaan oleh pemerintah. Kenapa demikiaan? Membakar lahan dilakukan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup karena mayoritas dari mereka tidak memiliki pekerjaan lain. Sedangkan apabila mereka memiliki pekerjaan yang layak tentunya mereka tidak perlu bersusah payah lagi untuk membakar lahan-lahan mereka dan hal tersebut akan meminimalisir kabakaran hutan yang terjadi. Minimnya pendidikan dan pemahaman akan aturan yang dibuwat juga bisa menjadi faktor-faktor penyebab kebakaran hutan yang terjadi. Oleh karena itu sebenarnya bukan Pergubnya yang dipermsalahkan tetapi kesadaran dari pemerintah untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan kesedaran dari masyarakatlah yang perlu diperhatikan.

Selasa, 29 Maret 2016

Strategi 5C dalam Good Governance


Pelaksanaan good governance dalam sebuah Negara sangatalah pentig untuk dilakukan, dengan terlaksananya good governance tersebut maka akan terlaksanalah sebuah Negara dengan sistem pemerintahan yang baik pula. Terlaksananya pemerintah yang baik tentunya akan membuat berbagai macam sektor yang ada dalam sebuah Negara akan berkembang dan maju lebih pesat lagi. Seperti yang kita pahami good governance pada dasarnya adalah suatu konsep yang mengacu kepada proses pencapaian keputusan dan pelaksanaannya yang dapat dipertanggungjawabkan secara bersama. Sebagai suatu konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara, dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahaan dalam suatu negara.
            Dalam proses pelaksanaannya Good Governance tersebut juga memiliki beberapa karakteristik. Adapun beberapa karakteristik pelaksanaan good governance tersebut menurut UNDP, meliputi: Participation, Rule of law, Transparency, Responsiveness, Consensus Orientation, Equity, Efficiency and Effectiviness, Accountability, dan Strategic vision. Karakteristik tersebut tentunya harus benar-benar dilaksanakan sebagai mana mestinya. Good Governance tidak akan bisa berjalan dengan baik apabila karakteristik dari Good Governance tersebut tidak diimplementasikan secara baik pula.
            Good Governance mengandung dua pengertian, Pertama, nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial. Kedua, aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut (LAN dalam Widodo, 2001). Pengertian pertama mengandung aspek politik dalam rangka demokratisasi dalam pencapaian tujuan nasional, sedangkan pengertian kedua mengandung aspek administrative dari fungsi pemerintahan dalam mencapai tujuan nasional yang efektif dan efisien.
            Untuk menjalankan good governance tersebut tentu harus ada strategi yang dimiliki atau dilakukan. Adapun strataegi yang dilaksanakan dalam good governance sering disebut dengan 5C, yaitu :
·         Core (inti)
·         Consequences (konsekuensi)
·         Customer (pelanggan)
·         Control (pengawasan)
·         Culture (budaya)
            Artinya dalam pelaksanaan good governance tersebut stategi yang dirancang haruslah memiliki core (inti), maksudnya harus ada inti dari hal yang ingin dicapai dalam pelaksanaan good governance itu apa. Kemudian harus bisa memprediksikan consequences (konsekuensi) tentunya dalam setiap pelaksaan yang akan dilakukan, potensi adanya hal yang tidak diinginkan akan selalu ada oleh karena itu kita harus bisa memprediksikan dan memperhitungkan konsekuensinya seperti apa. Kemudian dalam pelaksaan strategi good governance tersebut kita juga perlu customer (pelanggan) untuk melancarkan segala proses yang ingin dicapai. Dalam pelaksanaan good governance tersebut pula kita perlu melakukan control (pengawasan) agar semuanya bisa terkendali dan berjalan dengan sebagai mana mestinya. Fungsi pengawasan itu sangatlah penting untuk dilakukan. Dan yang terakhir dalam proses pelaksaan good governance tersebut kita juga perlu culture (budaya) maksudnya kita haruslah mempunyai budaya baik dalam proses pelaksaan strategi tersebut, kita harus bisa bertanggung jawab dalam segala tugas dan tanggung jawan yang diberikan kepada kita.
            Dari  hal ini saya menyimpulkan bahwa good governance sangatlah penting untuk diterapkan dalam sebuah Negara. Hala tersebut penting dilakuakn untuk melaksanakan sebuah sistem kepemerintaha yang baik. Terlaksananya good governance tersebut tentunya akan membauat berbagai macam sector dalam sebuah Negara akan terlaksana dengan optimal. Dan untuk mewujudkan good governance tersebut tentunya ada startegi yang harus kita lakukan. Startegi tersebut sering disebut dengan 5C, yaitu : Core (inti), Consequences (konsekuensi), Customer (pelanggan), Control (pengawasan), dan Culture (budaya). Kelima hal ini diharapkan akan mampu untuk menjadi strategi dalam proses pelaksanaan good governance.