Sabtu, 07 Maret 2015

Kualitas Pelayanan Publik Bagi Masyarakat Desa



Oleh:
DEDE ANDREAS
(Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Palangka Raya, Jurusan Ilmu Pemerintahan)
ABSTRAK
Artikel ini bertujuan untuk mencari tau seperti apa kualitas pelayanan publik pemerintah bagi masyarakat yang tinggal di pedesaan . Pada dasarnya pelayanan publik merupakan bentuk intervensi pemerintah terhadap masyarakat dalam upaya pemenuhan kebutuhan, tetapi sampai saat ini intervensi tersebut belum dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat, sehingga masih banyak keluhan atas rendahnya kualitas pelayanan publik. Masyarakat yang tinggal di pedesaan adalah para masyarakat yang lebih sering merasakan rendahnya kualitas pelayanan publik. Kualitas pelayan publik harus terus diperbaiki dan ditingkatkan agar kualitas pelayanan publik itu juga semakin baik. Karena memang sudah selayaknya masyarakat mendapatkan pelayanan publik yang baik.
Kata Kunci : Kualitas, Pelayanan Publik , Masyarkat desa, Pemerintah

PENDAHULUAN
Pelayanan publik merupakan salah satu tanggung jawab dari instansi pemerintah, baik itu di pusat, di daerah, maupun di desa. Pelaksanaan pelayanan publik ini merupakan salah satu fungsi pemerintah dalam melakukan kemudahan pada masyrakat dalam menggunakan hak dan kewajibannya. Dalam penyelenggaraan pelayanan oleh pemerintah, rasa puas masyarakat terpenuhi bila apa yang diberikan oleh pemerintah kepada mereka sesuai dengan apa yang mereka harapkan, dengan memperhatikan kualitas dan pelayanan itu diberikan relatif terjangkau dan mutu pelayanan yang baik. Jadi, dalam pelayanan itu sendiri harus transparansi, partisipasi, dan akuntabilitasi.
Pada era reformasi ini, masyarakat terbuka dalam memberikan kritikan pada pemerintah dalam pelayanan publik. Maka dari pada itu pemerintah sangat berperan dalam mengatur dan mengarahkan seluruh kegiatan dalam mencapai tujuan meningkatkan kualitas pelayanan pada masyarakat. Pada saat ini pelayanan publil desa banyak mendapat sorotan dari masyarakat. Dengan adanya kebebasan menyampaikan pendapat ,banyak ditemukan kritikan terhadap kinerja pemerintah,baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Hal ini terjadi karna masih rendahnya produktifitas kerja dan disiplin dari aparat daerah, serta masih kurangnya sarana kerja yang memadai. Pelayanan yang berkualitas seringkali mengalami kesulitan untuk dapat di capai karna aparat seringkali belum mengetahui dam memahami bagaimana cara memberikan pelayanaan yang baik, hal ini disebabkan oleh masi rendahnya kemampuan professional aparat daerah.
Penyelenggaraan pelayanan publik yang di laksanakan oleh birokrasi pemerintah yang menyangkut pemenuhan hak-hak sipil serta kebutuhan dasar masyarakat, belum nyata di lihat dari kinerja birokrasi pemerintah selama ini. Karena jika melihat fenomena dewasa ini masih banyak keluhan dan pengaduan dari masyarakat, seperti cara kerja pelayanan yang berbelit-belit, tidak adanya transparansi dan akuntabilitas, terbatasnya fasilitas, kurangnya sarana dan prasarana pelayanan. Secara teoritis pemerintah daerah dapat meningkatkan pelayanan publik, ini karena semua kreativitas telah diberikan kepada daerah untuk menyelenggarakan pelayanan publik dalam rangka mensejahterakan masyarakat, ternyata dalam perjalanan roda pemerintahan banyak mengalami kendala seperti misalnya anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah dalam rangka pelayanan public sangat terbatas, mindset dari birokrat cenderung menempatkan dirinya sebagai agent kekuasaan dari pada agent pelayanan. Kondisi-kondisi tersebut yang membuat masa depan kehidupan masyarakat menjadi suram, hal ini karena masyarakat sangat tergantung pada pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah (Pramusinto & Kumorotomo, 2009 : 168,218).
Kondisi tersebut, menyebabkan sering kali para aparat birokrasi tidak mampu menemukan problem-problem khusus dalam masyarakat karena kapasitas yang terbatas, dan seringnya terjebak ke dalam masalah atau fenomena sosial yang tampak di permukaan kemudian di pandang sebagai masalah yang sebenarnya, sehingga kesalahan dalam mengidentifikasikan masalah ini akan berakibat juga salahnya keputusan yang diambil (William N. Dunn, 2003 : 209). Karena keterbatasan - keterbatasan yang dimiliki oleh para pelaku dalam organisasi birokrasi tersebut mengakibatkan kecenderungan dalam keputusannya ke arah penyeragaman dan mengabaikan pluralitas, sehingga menyebabkan banyak kebijakan dalam pelayanan publik yang diselenggarakan oleh birokrasi pemerintah kurang dapat memenuhi aspirasi masyarakat banyak. Mengenai hal tersebut maka pemerintah daerah perlu merubah kinerjanya yakni pertama, harus membuka lebih banyak partisipasi, yang sekaligus terkandung didalamnya peningkatan dalam hal transparansi dan akuntabilitas pelayanan, kedua, adanya ketersambungan, karena semakin masyarakat dapat membandingkan dan memberikan penilaian atas kinerja pemerintah daearah, maka semakin terhubung dan terorganisir dalam jaringan, sehingga masyarakat lebih percaya diri dalam merumuskan tuntutan dan dalam mendorong reformasi pelayanan publik. Ketiga, harus adanya akses informasi dari masyarakat mengenai pelayanan public yang diberikan oleh pemerintah.

LANDASAN TEORI
a.       Kualitas
Pengertian atau makna atas konsep kualitas telah diberikan oleh banyak pakar dengan berbagai sudut pandang yang berbeda, sehingga menghasilkan definisi-definisi yang berbeda pula. Goesth dan Davis yang dikutip Tjiptono, mengemukakan bahwa kualitas diartikan “sebagai suatu kondisi dinamis dimana yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan.”(Tjiptono, 2004:51). Kemudian Triguno juga mengungkapkan hal yang senada tentang kualitas, yang dimaksud dengan kualitas adalah, “Suatu standar yang harus dicapai oleh seseorang atau kelompok atau lembaga atau organisasi mengenai kualitas sumber daya manusia, kualitas cara kerja, proses dan hasil kerja atau produk yang berupa barang dan jasa.” (Triguno,1997:76). Pengertian kualitas tersebut menunjukan bahwa kualitas itu berkaitan erat dengan pencapaian standar yang diharapkan.
Berbeda dengan Lukman yang mengartikan kualitas adalah “sebagai janji pelayanan agar yang dilayani itu merasa diuntungkan.”(Lukman, 2000 :11). Kemudian Ibrahim melihat bahwa kualitas itu “sebagai suatu strategi dasar bisnis yang menghasilkan barang dan jasa yang memenuhi kebutuhan dan kepuasan konsumen internal dan eksternal, secara eksplisit maupun implisit.” (Ibrahim, 1997:1).
Pengertian yang lebih rinci tentang kualitas diberikan oleh Tjiptono, setelah melakukan evaluasi dari definisi kualitas beberapa pakar, kemudian Tjiptono menarik 7 (tujuh) definisi yang sering dikemukakan terhadap konsep kualitas, definisi-definisi kualitas menurut Tjiptono tersebut, adalah sebagai berikut:
1.      Kesesuaian dengan persyaratan atau tuntutan;
2.      Kecocokan untuk pemakaian;
3.      Perbaikan atau penyempurnaan berkelanjutan:
4.      Bebas dari kerusakan atau cacat;
5.      Pemenuhuan kebutuhan pelanggan semenjak awal dan setiap saat;
6.      Melakukan segala sesuatu secara benar semenjak awal; dan
7.      Sesuatu yang bisa membahagiakan pelanggan.
(Tjiptono,1997:2).
Dari pengertian tersebut tampak bahwa, disamping kualitas itu menunjuk pada pengertian pemenuhan standar atau persyaratan tertentu, kualitas juga mempunyai pengertian sebagai upaya untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan secara terus menerus dalam pemenuhan kebutuhan pelanggan sehingga dapat memuaskan pelanggan.
b.      Pelayanan Publik
Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik mendefinisikan pelayanan publik sebagai berikut: Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Pelayanan publik menurut Roth (1926:1) adalah sebagai berikut : Pelayanan publik didefinisikan sebagai layanan yang tersedia untuk masyarakat, baik secara umum (seperti di museum) atau secara khusus (seperti di restoran makanan).
Sedangkan Lewis dan Gilman (2005:22) mendefinisikan pelayanan publik sebagai berikut: Pelayanan publik adalah kepercayaan publik. Warga negara berharap pelayanan publik dapat melayani dengan kejujuran dan pengelolaan sumber penghasilan secara tepat, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Pelayanan publik yang adil dan dapat dipertanggung-jawabkan menghasilkan kepercayaan publik. Dibutuhkan etika pelayanan publik sebagai pilar dan kepercayaan publik sebagai dasar untuk mewujudkan pemerintah yang baik.
Pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu bahwa pemerintahan pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyaraakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama (Rasyid, 1998). Karenanya birokrasi publik berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan layanan baik dan profesional..
c.       Masyarakat desa
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia masyarakat desa    adalah masyarakat yang penduduknya mempunyai mata pencaharian utama dl sektor bercocok tanam, perikanan, peternakan, atau gabungan dari kesemuanya itu, dan sistem budaya serta sistem sosialnya mendukung mata pencaharian itu. Menurut Paul B. Horton & C. Hunt masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok / kumpulan manusia tersebut. Masyarakat desa ditandai dengan pemilikan ikatan perasaan batin yang kuatsesama warga desa, yaitu perasaan setiap warga/anggota masyarakat yang sangat kuat yang hakekatnya. Adapun yang menjadi ciri masyarakat desa/pedesaan antara lain :
§  Didalam masyarakat pedesaan di antara warganya mempunyai hubungan yang lebih mendalam dan erat bila dibandingkan dengan masyarakat pedesaan lainnya di luar batas wilayahnya.
§  Sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan
§  Sebagian besar warga masyarakat pedesaan hidup dari pertanian
d.      Pemerintah
·         Wilson (1903:572) :
Government in last analysis, is organized force, not necessarily or invariably organized armed force, but two of a few men, of many men, or of a community prepared by organization to realise its own purposes with references to the common affairs or the community.
Pemerintah dalam akhir uraiannya adalah suatu pengorganisasi kekuatan, idak selalu berhubungan dengan organisasi kekuatan angkatan bersenjata, tetapi dua atau sekelompok orang dari sekian banyak kelompok orang yang dipersiapkan oleh suatu organisasi untuk mewujudkan maksud dan tujuan bersama mereka, dengan hal-hal yang memberikan bagi urusan-urusan umum kemasyarakatan.
·         Apter (1965:84) :
Government is the most generalized membership unit prossessing defined responsibilities for maintenance of the system of which it is a part and a practical monopoly of coercive power.
Pemerintah itu merupakan suatu anggota yang paling umum yang memiliki tanggungjawab tertentu untuk mempertahankan sistem yang mencakupnya, itu adalah bagian dan monopoli praktis mengenai kekuasaan paksaan.
·         Suradinata :
Pemerintah adalah organisasi yang mempunyai kekuatan besar dalam suatu negara, mencakup urusan masyarakat, teritorial, dan urusan kekuasaan dalam rangka mencapai tujuan negara.
·         Ndraha :
Pemerintah adalah segenap alat perlengkapan negara atau lembaga- lembaga kenegaraan yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan.Dengan demikian, pada umumnya pemerintah adalah sekelompok individu yangmempunyai wewenang tertentu untuk melaksanakan kekuasaan atau sekelompokindividu yang mempunyai dan melaksanakan wewenang yang syah dan melindungiserta meningkatkan melalui perbuatan dan pelaksanaan berbagai keputusan yangdibuat pemerintah berdasarkan perundang-undangan baik tertulis maupun tidak.

KASUS
Contoh Kasus
Anggota DPD RI wakil Sulbar, Muh. Asri Anas, menegaskan pelayanan kesehatan publik merupakan tanggung jawab pemerintah, bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui sistem jaminan sosial nasional bagi upaya kesehatan perorangan. “Dengan kata lain pelayanan kesehatan tidak boleh membeda-bedakan asal-usul, antara yang kaya dan yang miskin, yang tua dan muda, dan sebagainya. Itu adalah substansi dari pelayanan kesehatan publik yang secara menyeluruh diatur dalam UU Kesehatan,’ kata Asri Anas.
Namun kenyataannya berbeda lain. Di negara kita dan kasat mata bisa dilihat pelayanan kesehatan masih sangat diskriminatif. Contoh kecil saja, di banyak rumah sakit di Indonesia kita dengan mudah menemukan masih adanya pelayanan rumah sakit kelas VIP, ada kelas III, kelas II, dan sebagainya. Pasien kelas VIP tentu dilayani dengan baik dan ramah karena mereka bisa membayar mahal agar dirawat di rumah sakit. Tentu berbeda dengan pasien kelas ekonomi tidak mendapatkan ruang perawatan yang maksimal bahkan untuk senyum dari perawat pun kadang tidak didapatkan. Ibaratnya “Orang Miskin Dilarang Sakit”. Saat orang miskin masuk rumah sakit maka mereka bukannya menjadi sehat malah mungkin tambah stres memikirkan biaya perawatan dan pengobatan yang besar, pelayanan rumah sakit yang tidak maksimal, dan sebagainya.
Contoh kasusnya banyak. Salah satunya seorang bayi di Jakarta bernama Dera Nur Anggraini yang ditolak dirawat di 9 rumah sakit di Jakarta beberapa waktu karena katanya orang tuanya tidak memiliki biaya berobat di rumah sakit. Meskipun pihak rumah sakit dan pemerintah membantah hal itu. Padahal, Asri mengatakan pemerintah sudah menyediakan Jamkesmas sebuah program jaminan kesehatan untuk warga kurang mampu agar bisa dirawat dan berobat di rumah sakit. Lalu apa yang keliru? Mengapa masih banyak pasien warga miskin dipersulit berobat di rumah sakit.
Rumah sakit oleh banyak kalangan bukan lagi pelayanan sosial kemasyarakatan namun dibangun atas prinsip lahan untuk mencari uang dan di beberapa daerah di Indonesia malah menempatkan RSUD sebagai lahan untuk memperoleh Pendapat Asli Daerah (PAD) sebesar-besarnya. Secara etika dan moral itu jelas keliru dimana rumah sakit jadi ladang membisniskan orang yang sakit. “Jangan-jangan hanya di Indonesia yang ada seperti ini. Sebab di negara yang liberal sekalipun seperti Amerika tidak seperti itu,” ujarnya. Rumah sakit tetap mengedepankan pelayanan kesehatan masyarakat ketimbang mengkalkulasikan untung-rugi.
Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Pasal 29 huruf (f ) disebutkan bahwa rumah sakit harus melaksanakan fungsi sosial dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu atau miskin serta pelayanan gawat darurat tanpa uang muka. Rumah sakit harusnya berada di garda terdepan dalam melayani kesehatan masyarakat. Dengan demikian sudah semestinya tidak ada masyarakat yang tidak dilayani dengan baik oleh rumah sakit, terutama rumah sakit pemerintah di pusat dan daerah. Bukti masih rendahnya pelayanan rumah sakit tersebut bisa dilihat dari ikhtisar Laporan BPK Semester II-2012 yang dipublikasikan dalam rapat Paripurna DPR RI kemarin. Dalam pemeriksaan BPK atas kinerja pelayanan pada beberapa rumah sakit pemerintah ditemukan kinerja atas pelayanan rumah sakit itu menunjukkan 66 rumah sakit yang diperiksa hanya satu RSUD yang telah efektif dalam mengelola pelayanan obat pada instalasi farmasi.
Selain itu, hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan rumah sakit pada umumnya belum efktif. Hal tersebut bisa dilihat dari masih adanya kelemahan-kelemahan antara lain pemenuhan kebutuhan pembekalan farmasi yang tidak optimal. Tahap pemilihan, perencanaan, pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian perbekalan farmasi belum dapat memenuhi tujuan setiap tahapan. Selain itu, sarana dan prasarana instalasi farmasi, rawat inap, dan rawat jalan tidak sesuai standar sehingga pelayanan tidak optimal.
Data BPK ini jelas-jelas memperlihatkan kepada kita fakta bahwa pelayanan rumah sakit masih memprihatinkan. Di Sulbar kita harapkan pelayanan rumah sakit bisa tumbuh maksimal. Banyak konsep pelayanan rumah sakit yang humanis bisa kita bisa terapkan di provinsi tercinta ini. Di Kabupaten Polman misalnya. Setelah saya menghitung besaran APBD dan prospek APBD Polman ke depan maka sebenarnya Pemda Polman bisa menerapkan pelayanan kesehatan baik perawatan dan pengobatan gratis di rumah sakit dan Puskesmas. Pelayanan kesehatan dimaksud termasuk diantaranya Pemda Polman sebenarnya bisa menyediakan ambulans gratis bagi warga di setiap kecamatan tanpa memungut biaya sepersen pun.
Demikian pula pembiayaan kesehatan penuh bagi seluruh perangkat Desa berupa Asuransi Kesehatan dalam rangka mendukung peningkatan kinerja perangkat Desa mulai dari Kepala Desa, BPD, Kepala Dusun, Imam Masjid, Pendeta, Guru Ngaji juga bisa diterapkan. Sehingga perangkat desa bisa tenang dalam bekerja khususnya ada jaminan biaya perawatan rumah sakit ketika mereka mendapatkan kecelakaan kerja atau sakit.
Untuk pelayanan kesehatan yang baik maka warga masyarakat juga bisa dilibatkan dengan membangun Lingkungan Sehat (rumah sehat, kantor pemerintahan bersih sehat, ruang sosial sehat, rumah ibadah sehat, pusat pendidikan sehat, dan prasarana umum lainnya) misalnya kerja bakti gotong-royong setiap Jumat diintensifkan agar lingkungan bersih sehat tercapai dan tidak menjadi sumber penyakit masyarakat.
Demikian pula pemeriksaan kesehatan secara gratis bisa dilakukan dengan model jemput bola pelayanan, dimana setiap bulan dilakukan program pemeriksaan kepada warga masyarakat termasuk pemeriksaan kesehatan para murid/siswa di sekolah setiap bulan. Tentu dengan mengandalkan 144 Puskesmas/Pustu dan 504 posyandu di Polman serta 56 dokter, 412 bidang, perawat serta bidan PTT.
Soal berobat gratis yang bisa diterapkan di Polman ini dimaksudkan agar warga bisa mendapatkan pelayanan kesehatan gratis, yang baik, dan manusiawi. Program ini diwujudkan dengan pendataan warga dan kemudian pemberian kartu sehat yang juga sekaligus berfungsi sebagai kartu kontrol kesehatan yang akan di update setiap bulan dalam program Bulan Sehat. Kartu berbasis IT ini juga menjadi bukti setiap warga terdaftar dalam sistem pelayanan kesehatan yang terintegrasi Sesuai dengan Undang-Undang maka seharusnya masyarakat miskin atau masyarakat yang memiliki kartu Jamkesda dan Jamkesmas mendapatkan pelayanan kesehatan prima atau maksimal.
Begitu banyak gagasan dan solusi yang bisa dilakukan agar pelayanan kesehatan kepada masyarakat bisa diberlakukan secara adil. Tinggal keinginan para Pemda untuk merealisasikannya, sebuah niat tulus, niat yang dilandaskan rasa kemanusiaan untuk bisa melihat warga Sulbar hidup sehat dan layak mendapatkan pelayanan kesehatan memadai.
Analisa Kasus
Dalam pelayanan publik ada banyak kasus yang dapat kita ambil sebagai contoh. Dalam artikel yang saya buat ini, saya mengambil contoh kasus mengenai masalah pelayanan publik di rumah sakit. Karena pelayanan publik di rumah sakit ini sering sekali menyusahkan masyarkat apa lagi para masyarakat yang berasal dari desa atau pedesaan. Pelayanan publik di rumah sakit adalah salah satu contoh dari sekian banyak contoh kurangnya kualitas dari pelayanan publik.
Sebenarnya masih banyak contoh lain yang dapat kita lihat seperti apa kualitas pelayanan publiknya bagi masyarakat desa. Pelayanan kesehatan adalah salah satu contoh dari kuranganya pelayanan publik bagi masyarakat desa. Pemerintah seharusnya bisa mengerti keadaan masyarakat desa yang kebanyakan tidak mampu. Mereka juga perlu memberikan pelayanan kesehatan yang baik tanpa membeda-bedakan satu samalain. Tidak hanya dibidang kesehatan tapi dibidan-bidan lain pemerintah juga perlu memperhatikan kualitas pelayanan bagi masyarakat desa.
Pelayanan kesehatan publik merupakan salah satu hak paling mendasar yang wajib didapatkan masyarakat seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Dalam Piagam HAM Internasional Pasal 25 (1) disebutkan antara lain “Setiap orang berhak atas hidup yang memadai untuk kesehatan, kesejahteraan diri dan keluarganya,…”. Dalam UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan dipertegas pada Pasal 5 menyebutkan setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.
Dalam industri pelayanan kesehatan, kualitas pelayanan, hal yang sangat penting dalam mewujudkan kepuasan pelanggan, apalagi hal ini berhubungan dengan hidup mati seseorang. Kualitas pelayanan didefinisikan sebagai perbedaan antara harapan pelanggan dengan kenyataan yang diterima. Kepuasan merupakan pernyataan psikologi yang dihasilkan dari terpenuhi atau tidaknya harapan dengan pelayanan yang diterima secara nyata. Industri jasa merupakan sebuah sektor yang berbeda dibanding dengan sektor manufaktur. Salah satu contoh daripada sektor jasa ialah industri pelayanan kesehatan misalnya rumah sakit. Dalam industri perawatan kesehatan, rumah sakit menyediakan jenis-jenis pelayanan yang sama, tetapi mereka tidak menyediakan kualitas pelayanan yang sama.
Yang jadi permasalahannya sekarang adalah masyrakat desa dengan keadaan ekonomi yang rendah susah untuk bisa membayar rumah sakit dengan kualitas yang baik. Keadaan seperti ini menurut saya harus kita carikan solusi, jangan karna mereka bersal dari desa dan tidak begitu mampu lalu mereka dibeda-bedakan. Setiap masyarakat boleh saja dibedakan karena fasilitasnya namun kualitas dan sikap pelayanan tetap harus sama.

PEMBAHASAN
Standar Pelayanan Publik di Daerah Bagi Masyarakat Desa
Dalam konteks pelayanan publik di daerah, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah ditujukan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, kesejahteraan rakyat dan pemberdayaan masyarakat. Karena itu pemerintah daerah harus menyediakan pelayanan publik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sesuai dengan pasal 11 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Penggunaan kriteria-kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dalam pembagian urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan dilaksanakan secara kumulatif sebagai satu kesatuan. Urusan wajib didefinisikan sebagai urusan daerah otonom yang penyelenggaraannya diwajibkan oleh pemerintah. Hal ini berarti pemerintah menetapkan urusan mana yang merupakan urusan dasar yang menjadi prioritas penyelenggaraan dan mana yang merupakan urusan pilihan.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib, baik untuk pemerintahan propinsi maupun untuk pemerintahan kabupaten dan kota sebagaimana disebutkan di atas harus berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal (SPM). Urusan yang bersifat pilihan tersebut meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Dalam penyelenggaraan urusan pilihan tersebut, pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota dapat memilih bagian urusan pemerintahan pada bidang-bidang tertentu seperti pertanian, kelautan, pertambangan dan energi, kebutanan dan perkebunan, perindustrian dan perdagangan, perkoperasian, kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, dan berbagai bidang lainnya.
Sesuai dengan deskripsi di atas, UU No. 32 Tahun 2004 mengamanatkan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib dilaksanakan dengan berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang dilaksanakan secara bertahap. Hingga saat ini pemerintah sedang menyusun RPP tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. Bila sudah diterapkan, maka SPM akan dijabarkan oleh masing-masing kementerian/lembaga terkait untuk menyusun SPM masing-masing. Standar pelayanan minimal didefinisikan sebagai tolok ukur untuk mengukur kinerja penyelenggaraan urusan wajib daerah yang berkaitan dengan pelayanan dasar kepada masyarakat.
Kriteria penentuan biaya dengan metode Standar Pelayanan Minimum sangat mendukung konsep anggaran berbasis kinerja yang juga mengacu kepada input, output, outcome, benefit dan impact. Standar Pelayanan Minimum merupakan alat untuk mengukur kinerja pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pelayanan dasar. Tingkat kesejahteraan masyarakat akan sangat tergantung pada tingkat pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah. Standar Pelayanan Minimum sangat diperlukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat sebagai konsumen pelayanan itu sendiri. Bagi pemerintah daerah suatu Standar Pelayanan Minimum dapat dijadikan sebagai tolok ukur (benchmark) dalam penentuan biaya yang diperlukan untuk menyediakan pelayanan tertentu. Sedangkan bagi masyarakat Standar Pelayanan Minimum akan menjadi acuan dalam menilai kinerja pelayanan publik, yakni kualitas dan kuantitas suatu pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah. Penerapan Standar Pelayanan Minimum (SPM) akan memiliki manfaat sebagai berikut :
1.      Dengan SPM akan lebih terjamin penyediaan pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat.
2.      SPM akan bermanfaat untuk menentukan Standar Analisis Biaya (SAB) yang sangat dibutuhkan pemerintah daerah untuk menentukan jumlah anggaran yang dibutuhkan untuk menyediakan suatu pelayanan publik.
3.      SPM akan menjadi landasan dalam penentuan perimbangan keuangan yang lebih adil dan transparan (baik DAU maupun DAK).
4.       SPM akan dapat dijadikan dasar dalam menentukan anggaran kinerja dan membantu pemerintah daerah dalam melakukan alokasi anggaran yang lebih berimbang.
5.      SPM akan dapat membantu penilaian kinerja (LPJ) Kepala Daerah secara lebih akurat dan terukur sehingga mengurangi kesewenang-wenangan dalam menilai kinerja pemerintah daerah.
6.      SPM akan dapat menjadi alat untuk meningkatkan akuntabilitas pemerintah daerah kepada masyarakat, karena masyarakat akan dapat melihat keterkaitan antara pembiayaan dengan pelayanan publik yang dapat disediakan pemerintah daerah.
7.      SPM akan menjadi argumen dalam melakukan rasionalisasai kelembagaan pemerintah daerah, kualifikasi pegawai, serta korelasinya dengan pelayanan masyarakat.
Kinerja Ideal Birokrasi Dalam Pelayanan Publik
Intervensi negara atau lebih tepatnya intervensi birokrasi publik, dengan beragam variasinya, sangat diperlukan dalam pelayanan public sebagian disebabkan oleh ketidak sempurmaan berlakunya teori pasar. Markel failures tidak dapat bekerja secara sempuma jika terjadi economic of scaie, monopoli dan ketimpangan informasi mengenai harga. Alasan lain kenapa birokrasi publik diperlukan dalam pelayanan publik, karena mekanisme pasar tidak dapat memberikan pelayanan dengan baik dan efisien manakala jenis pelayanannya termasuk kedalam kategori public goods and services, yaitu barang dan jasa yang dapat dinikmati oleh setiap orang pada saat yang bersamaan (non rivalry) tanpa melihat peran sertanya dalam penyediaan barang tersebut (non excludability). Dalam kondisi seperti ini maka kehadiran birokrasi publik sangat diperlukan untuk membetulkan mekanisme pelayanan dan menghalangi mekanisme pelayanan yang merugikan publik. Pertimbangan lain yang sering dipakai sebagai justifikasi keterlibatan birokrasi publik dalam pelayanan publik adalah pertimbangan politik. Pertimbangan ini dipakai untuk menghindari kemungkinan masyarakat dirugikan oleh penyelenggaraan pelayanan di pasar bebas yang acapkali kepentingannya berbenturan dengan kepentingan publik. Sekalipun keterlibatan birokrasi publik tidak dapat dihindarkan dan dalam batas-batas tertentu mempunyai makna besar dalam pelayanan publik, yang menurut Osborne and Gaebler (1991:13) birokrasi publik diperlukan untuk manajemen kebijakan, regulasi, keadilan, mencegah eksploitasi, menjamin kontinyuitas dan stabilitas jasa serta menjamin keakraban sosial, namun bukan berarti ia merupakan satu-satunya lembaga yang paling baik dalam memberikan pelayanan kepada publik.
Pelayanan publik yang diberikan pemerintah dewasa ini perlu diarahkan pada pemberdayaan masyarakat dan bukan untuk menyuburkan ketergantungan. Dalam situasi dimana sumber-sumber publik semakin langka keberadaannya, perlu dikembangkan pemberdayaan di kalangan masyarakat dan aparatur, karena dapat mengurangi beban pemerintah dalam pelayanan publik. Sebagaimana dikatakan oleh Thoha “.... Peran dan posisi birokrasi dalam pelaksanaan pelayanan publik harus diubah. Peran yang selama ini suka mengatur dan minta dilayani, menjadi suka melayani, suka mendengarkan tuntutan, kebutuhan dan harapan-harapan masyarakat (Thoha : 2009:13). Dalam perkembangan berikutnya temyata hakekat pelayanan publik bukan semata-mata persoalan administratif belaka seperti pemberian ijin dan pengesahannya, atau pemenuhan kebutuhan fisik seperti pengadaan pasar dan puskesmas, tetapi mencakup persoalan yang lebih mendasar yakni pemenuhan keinginan/kebutuhan pelanggan, seperti kepuasan dalam pelayanan kesehatan dirumah sakit atau pun pelayanan di puskesmas - puskesmas.
Hal ini wajar karena dalam setiap organisasi, pemenuhan dan pemberian pelayanan kepada masyarakat merupakan suatu tuntutan. kualitas pelayanan dan kepuasan masyarakat sangat diutamakan mengingat keduanya mempunyai pengaruh yang besar kepada keberlangsungan dan berkembangnya misi suatu organisasi. Di dalam Keputusan MENPAN Nomor 63 tahun 2003 disebutkan bahwa penyelenggaraan pelayanan harus memenuhi beberapa prinsip sebagai berikut :
a.       Kesederhanaan
Prosedur pelayanan publik tidak berbelitbelit, mudah dipahami dan mudah dilaksnakaan.
b.      Kejelasan
Kejelasan ini mencakup kejelasan dalam hal:
-          Persyaratan teknis dan administrasi pelayanan publik;
-          Unit Kerja/ pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam Memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/ persoalan/ sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik;
-          Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran;
-          Kepastian Waktu
c.       Kepastian Waktu
Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan;
d.      Akurasi
Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat, dan sah.
e.       Keamanan
Proses dan produk pelayanan public memberikan rasa aman dan kepastian hukum;
f.       Tanggung jawab
Pimpinan penyelenggara pelayanan public atau pejabat yang ditunjuk bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan/ persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik;
g.      Kelengkapan sarana dan prasana
Tersediannya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika (telematika);
h.      Kemudahan Akses
Tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informatika;
i.        Kedisiplinan, Kesopanan dan Keramahan
Pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas;
j.        Kenyamanan
Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan, seperti parkir, toilet, tempat ibadah dan lain-lain.

PENUTUP
Kesimpulan
Dalam praktek pelayanan publik di berbagai daerah seperti desa, seharusnya birokrasi selalu memberi perhatian terhadap permasalahan yang di timbulkan dari pengaduan masyarakat. Keterlibatan birokrasi publik dalam pelayanan publik di samping menunjukkan manfaat dan keunggulan tertentu, sekaligus juga menunjukkan kelemahannya. Masyarakat selalu menginginkan kepuasan dalam pelayanan, tetapi kelemahan birokrat dareah terletak pada ketiadaan atau terbatasnya sumber daya yang mumpuni serta di tambah denga peraturan-peraturan yang membuat birokrat daerah bekerja dengan kaku. Sehingga berbagai kritik di lontarkan kepada birokrasi publik seperti boros, kaku, berbelit-belit dan semacamnya, namun pada saat yang sama masih diperlukan karena mampu melindungi kepentingan publik dan menciptakan keadilan.
Kadang-kadang, birokrasi juga masih membiarkan diri untuk mendahulukan kepentingan tertentu tanpa memperhatikan konteks atau dimana birokrat bekerja atau berada. Mendahulukan orang atau suku sendiri merupakan tindakan yang biasa dilakukan dan diterapkan dalam konteks organisasi publik namun birokrat harus melayani dengan perlakuan yang sama kepada semua masyarakat. Oleh karena itu, harus ada kedewasaan untuk melihat di mana birokrat berada dan tingkatan hirarki etika manakah yang paling tepat untuk diterapkan. Hal ini karena kualitas layanan tidak hanya diukur dan sudut kualitas produk, tetapi juga dilihat dan sudut kualitas layanan.
Rekomendasi
            Berdasarkan keadaan tersebut maka penulis memberikan rekomendasi untuk memperbaiki kualitas palayanan publik bagi masyarakat desa, rekomendasi tersebut antaralain :
1.      Pemerintah harus lebih memperhatikan orang-orang yang bekerja dibirokrat. Pemerintah harus benar-benar mencari orang yang mau bekerja dan juga mau turun ke desa untuk membantu masyarakatnya.
2.      Kualitas pelayanan harus diperbaiki dan disamaratakan. Jangan karena masyarkatnya dari desa dan kurang mampu lalu kualitas pelayanannya kurang.
3.      Pemerintah harus memberikan hukuman yang tegas apabila ada oknum birokrat yang suka mempersulit pelayanan bagi para masyarakat.
4.      Pemerintah harus memantau dan mengawasi keadaan pelayanan publik agar tetap berjalan denga baik, apa lagi palayanan publik untuk masyrakaat desa yang sering diselewengkan.
5.      Masyarakat desa juga harus menjaga sarana-sarana yang diberikan dalam pelayanan publik.



DAFTAR PUSTAKA
  • Suharto Edi, PhD., “Kajian Penerapan Pelayanan Khusus (Service for Customers with Special Needs) pada Sektor Pelayanan Publik”. Jurnal Online, 6 April 2010.
  • Syani, Abdul. Birokrasi Pelayanan Kepada Masyarakat, Jurnal Online 19 Maret 2010 : hal 2-3.
  • Yogi S dan M., Ikhsan, Standar Pelayanan Publik di Daerah, Jurnal Online, 19 Maret 2010.
  • Zauhar, Soesilo, 2001. “Administrasi Publik Sebuah Perbincangan Awal”, Jurnal Administrasi Negara, Vol. 1 (2) : 1 -12.
  • Setyaningsih, Ira. Analisis Kualitas Pelayanan Rumah Sakit Terhadap Pasien Menggunakan Pendekatan Lean Servperf (Lean Service Dan Service Performance. Jurnal Teknik Industri.
  • Parasuraman, A., Zeithaml, V. and Berry, L. (1985), “A conceptual model of service quality and its implications for future research”, Journal of Marketing, Vol. 49 No. 3, pp. 41-50.
  • Jackson, J., Champberlin, J. and Kroenke, K. 2001. Predictors of Patients Satisfaction. Social Science and Medicine 52: 609-620.
  • Weingarten, S. et al. 1995. A Study of Patients Satisfactions and adherence to preventive care practice guidelines. The American Journal of Medicine 99: 590-596.
  • Youssef, F.N., Nel D, and Bovaird T. 1995. Service Quality in NHS Rumah sakit. Journal of Management in Medicine 9 (1): 66 – 74.
  • Blog Senator RI, Edisi 20 September 2014. Muh.Asri Anas: Pelayanan Kesehatan harus manusiawi
  • Barata, Atep. 2004. Dasar- dasar Pelayanan Prima. Jakarta : Elex Media. Komputindo.
  • Atep, Barata., 2003. Dasar-dasar Pelayanan Prima. Gramedia, Jakarta.
  • Dunn, William, 2003., Pengantar Analisis Kebijakan Publik edisi kedua, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
  • Nurcholis, Hanif., 2005. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, PT. Grasindo, Jakarta.
  • Syakrani dan Syahriani. 2009. Implementasi Otonomi Daerah dalam perspektif Good Governace, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

1 komentar:

  1. Solusi antrian dengan mesin antrian komputer dan android menggunakan tombol dan touchscreen seperti di BANK, PUSKESMAS, RUMAH SAKIT, PELAYANAN PAJAK,TOKO,dan lain" dengan kualitas terbaik dan harga terjangkau
    rekavisitama.net
    klik> mesin antrian
    Klik> mesin antrian bank
    Klik> mesin antrian android
    Klik> mesin antrian puskesmas
    Klik> mesin antrian jakarta
    Klik> mesin antrian touchscreen
    Klik> mesin antrian pajak

    BalasHapus