Minggu, 01 Maret 2015

Etika Birokrasi Para Pejabat Mantan Terpidana Korupsi Yang Kembali Menjabat


Oleh :

DEDE ANDREAS
(Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Palangka Raya, Jurusan Ilmu Pemerintahan)
ABSTRAK
Artikel ini dibuat untuk mengetahui kenapa para pejabat mantan terpidanan korupsi bisa kembali menjabat dan seperti apa etika dalam birokrasi sehingga keadaan tersebut bisa terjadi. Kasus para pejabat mantan terpidana korupsi yang kembali menjabat sudah sering sekali terjadi, keadaan ini seakan-akan bertolak belakang dengan semangat untuk memberantas korupsi.Yang patut kita pertanyakan adalah apakah selama ini Negara kita kekurangan orang yang baik untuk mengisi jabatan dibirokrat, sampai-sampai para pejabat mantan terpidana korupsi masih saja diberikan kepercayaam untuk menjabat. Keadaan seperti ini juga perlu diperhatikan oleh pemerintah, karena apabila dibiarkan keadaan tersebut akan membuat birokrasi memiliki etika yang buruk dalam pandangan masyarakat.
Kata Kunci : Etika, Birokrasi, Pejabat, dan Korupsi

PENDAHULUAN
Etika Birokrasi para pejebat terpidanan korupsi yang kembali memperoleh jabatan dalam struktural pemerintahan perlu kita pertanyakan. Tidakan tersebut memperburuk citra para birokrat di Indonesia. Birokrasi Indonesia harusnya menjadi panutan dan berjalan atas kehendak rakyat bukan berdasarkan kehendak pribadi atau sebuah organisasi politik tertentu. Etika birokrasi dan moralitas aparatnya saat ini menjadi kajian yang menarik, setidaknya ada dua perhatian utama yaitu semakin menurunya kepercayaan publik kepada birokrasi, dan adanya  tuntutan menciptakan tata pemerintahan yang baik yang berlandaskan pada etika dan moral. Disisi lain, dalam penerapannya kemudian bersinggungan dengan kasus korupsi yang terjadi di birokrasi.
The problem of corruption is a complexas legal, because it contains political, economic, and socio-cultural aspects. Artinya adalah “Masalah korupsi merupakan masalah yang besar dan menarik sebagai persoalan hukum yang menyangkut jenis kejahatan yang rumit penanggulangannya, karena korupsi mengandung aspek yang majemuk dalam kaitannya dengan politik, ekonomi, dan sosial-budaya”. Seperti yang kita tau “Corruption is the extra ordinary crime. The criminal policy of the corruption is need the comprehensive policy. This policy can develop with combine penal policy and non penal policy”. Artinya adalah “korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Penanggulangan tindak pidana korupsi ini membutuhkan suatu kebijakan penanggulangan kejahatan yang komprehensif. Kebijakan ini harus memadukan pendekatan penerapan hukum pidana dan pendekatan tanpa menggunakan hukum pidana.”
            Semangat pemberantasan korupsi di Indonesia yang menggelora saat ini, seakan tercederai dengan adanya pejabat bekas terpidana kasus korupsi dipromosikan bahkan kembali menjabat di struktural pemerintah daerah. Walaupun memang pejabat yang bersangkutan, telah selesai melaksanakan masa hukuman yang diberikan atas dakwaan korupsi yang dilakukannya. Namun hal ini tentunya memberi noda hitam pemberantasan korupsi di negeri ini dan juga penciptaan tata pemerintahan yang baik (good governance) jika terus terjadi, karena seyogyanya aparat birokrasi harus memiliki nilai moral yang baik untuk menciptakan pemerintahan yang bersih. Sehingga tidak salah sebuah jurnal asing menyatakan bahwa “corruption is way of life in Indonesia”.
Serangkaian kasus pengangkatan atau pemberian jabatan struktural di pemerintah daerah, kepada para pelaku korupsi adalah hal yang banyak menuai protes publik. setidaknya bahasan mengenai ini diangkat sebagai berita utama harian Kompas edisi tanggal 5-9 November 2012. Sebagaimana salah satu contoh adalah di Kabupaten Riau, memberikan promosi jabatan kepada terpidana korupsi alih guna lahan hutan lindung, Azirwan. Hal ini menunjukkan adanya pembangkangan atas nilai-nilai moral birokrasi.
Dengan begitu kemudian birokrasi menjadi semakin tercerabut dari masyarakat, setelah menurunya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi pada pelayanan publik. jika hal ini terus dibiarkan bisa jadi adanya pembangkangan masyarakat terhadap birokrasi dan program-programnya. Apakah kemudian hal ini menjadi tujuan dari birokrasi kita?, yang dalam prosesnya semakin memisahkan diri dari pihak yang semestinya dilayaninya, masyarakat.
            Dalam tulisan ini, kemudian akan membahas mengenai perilaku korupsi dan kejadian pengangkatan kembali para pejabat yang telah dipidana korupsi dalam jabatan struktural di daerah. Yang kemudian dilihat sebagai bentuk pelanggaran etika administrasi, sehingga menjadi acuan dalam menganalisis untuk dapat memberikan rekomendasi atas masalah etis dalam birokrasi kita.
LANDASAN TEORI
Kerangka Dasar Teori
a.       Pengertian Etika
Menurut  Socrates etika adalah penyelidikan kehidupan. Etika dapat didefinisikan sebagai; ilmu praktis yang berkaitan dengan moralitas tindakan manusia, ilmu tindakan manusia yang berfungsi sebagai referensi untuk apa yang benar atau apa yang salah, semacam penyelidikan ilmiah ke dalam prinsip-prinsip moralitas, cara mempelajari perilaku manusia dari titik pandang dari apa yang disebut moralitas, suatu jenis ilmu pengetahuan yang meletakkan prinsip-prinsip hidup yang tepat, sebuah studi tentang kejujuran dari perilaku manusia, ilmu praktis yang panduan dalam tindakan manusia serta bagaimana manusia hidup benar dan baik, dan itu adalah ilmu yang normatif dan praktis dan berbasis pada alasan yang mempelajari perilaku manusia serta memberikan norma kejujuran alam serta integritas.
b.      Birokrasi
Menurut Bintoro Tjokroamidjojo (1984) ”Birokrasi dimaksudkan untuk mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak orang”. Dengan demikian sebenarnya tujuan dari adanya birokrasi adalah agar pekerjaan dapat diselesaikan dengan cepat dan terorganisir. Bagaimana suatu pekerjaan yang banyak jumlahnya harus diselesaikan oleh banyak orang sehingga tidak terjadi tumpang tindih di dalam penyelesaiannya, itulah yang sebenarnya menjadi tugas dari birokrasi.
c.       Pejabat
Pejabat adalah orang yang menduduki jabatan tertentu dalam suatu pemerintahan serta mempunyai kekuasaan dan tugas untuk mengatur keadaan sesuai dengan jabatannya. Jabatan Ialah sekumpulan pekerjaan yang berisi tugas-tugas yang sama atau berhubungan satu dengan yang lain, dan yang pelaksanaannya meminta kecakapan, pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang juga sama meskipun tersebar di berbagai tempat.
d.      Korupsi
Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa
dikenakan sanksi pidana karena korupsi. Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Kerugian keuangan negara
2. Suap-menyuap
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
7. Gratifikas
Dalam ilmu politik: Korupsi merupakan penyalah gunaan jabatan dan administrasi, ekonomi atau politik, baik yang disebabkan oleh diri sendiri maupun orang lain yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan pribadi, sehingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat umum, perusahaan atau pribadi lainnya.
Teori Birokrasi Karl Marx
Karl Marx mulai mengelaborasi konsep birokrasi dengan menganalisa dan mengkritik falsafah Hegel mengenai negara yang menganalisis bahwa administrasi negara atau birokrasi sebagai suatu jembatan antara negara (pemerintah) dengan kelompok masyarakat, dimana kelompok masyaakat terdiri dari kelompok kepentingan khusus (particular interest) yang diwakili oleh kelompok para pengusaha dan kelompok profesional, sedangkan kelompok kepentingan umum (general interest) diwakili oleh negara. Diantara keduanya pemerintah merupakan perantara yang memungkinkan pesan-pesan kpentingan khusus tersalurkan ke kepentingan umum, sehingga birokrasi juga diharuskan pada posisi netral.
Menurut Marx, negara itu tidak mewakili kepentingan umum, tetapi mewakili khusus  dari kelas dominan. Dari perspektif ini, birokrasi merupakan kepentingan partikular yang mendominasi kepentingan partikular lainnya. Kepentingan partikular yang memenangkan perjuangan klas itulah yang dominan dan berkuasa. Birokrasi merupakan suatu instrumen dimana klas dominan melaksanakan dominasinya atas klas lainnya. Dalam hal ini kepentingan birokrasi pada tingkat tertentu menjalin hubungan intim dengan klas dominan dalam suatu negara. Dari sinilah netral atau tidak netral birokrasi mulai dibicarakan.
Pemikiran Hegel dan Marxs, pada prinsipnya menempatkan posisi birokrasi sebagai satu kelompok kepentingan tersendiri. Hegel menekankan bahwa birokrasi merupakan penengah antara negara dan masyrakat yang harus netral sedangkan Marx menekankan bahwa birokrasi juga merupakan klas tersendiri yang tidak mungkin netral melainkan berpihak pada klas yang berkuasa.
Birokrasi menurut Karl Marx merupakan suatu kelompok partikular yang sangat spesifik. Birokrasi bukanlah klas masyarakat, walaupun eksistensinya berkaitan dengan pembagian masyarakat ke dalam klas-klas tertentu. Lebih tepatya birokrasi adalah negara atau pemerintah itu sendiri.
Birokrasi adalah instrument yang digunakan oleh klas yang dominan untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya atas klas-klas sosial lainnya. Dengan kata lain birokrasi memihak kepada klas partikular yang mendominasi. Birokrasi sendiri pada tingkatan tertentu mempunyai hubungan yang sangat erat  dengan klas yang dominan dan pada pemerintahan, eksistensinya sangat tergantung pada klas yang dominan dan pada pemerintahan.
KASUS
Contoh Kasus
Pada Harian Kompas (9/11/12), Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengatakan bahwa surat edaran menteri tersebut sebagai pengingat dan pembinaan kepada kepala-kepala daerah bahwa pemecatan PNS yang korup telah diatur di dalam Undang-Undang Pokok Kepegawaian. Disitu juga ditegaskan bahwa Mendagri akan mencabut surat keputusan pengangkatan bekas terpidana korupsi yang menjadi pejabat struktural di pemerinta daerah.
Koran Kompas (9/11/12), melansir hingga saat ini daerah yang tercatat memberikan jabatan kepada bekas terpidana korupsi di pemerintah daerah, antara lain Kabupaten Karimun, Kota Tanjung Pinang, Kabupaten Natuna, Kabupaten Lingga, Kabupaten Majene, Provinsi Maluku Utara, dan Kabupaten Buru.
Di Lingga, empat bekas terpidana tersebut diberi jabatan antara lain, kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perhubungan Iskandar Ideris, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Togi Simanjuntak, keduanya dipidana dalam kasus korupsi pembangunan Dermaga Rejai. Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Dedy ZN yang mana dia dipenjara 16 bulan karena merugikan negara Rp. 1,3 miliar dalam kasus pencetakan sawah di Singkep Barat. Selain itu Kepala Badan Arsip dan Perpustakaan Jabar Ali, dipenjara 20 bulan karena terlibat korupsi proyek gedung di dinas pendidikan, pemuda dan olahraga.
Sedangkan di Pemerintah Kabupaten Natuna, Senagip menjadi Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Ia juga menjadi sekretaris KPU Natuna sekaligus tengah memimpin proyek pembangunan pabrik tapioka. Tahun ini Natuna mengalokasi Rp. 15 miliar untuk proyek itu. ada juga Yusrizal yang menjadi Kepala Badan, dan keduanya pernah divonis 30 bulan penjara karena korupsi dana bagi hasil migas tahun 2007.
Lebih lanjut, di Karimun Yan Indra menjabat kepala dinas pemuda dan olahraga. Indra pernah divonis 1,5 tahun penjara karena terlibat korupsi pembebasan lahan untuk PT. Saipem Indonesia tahun 2007. Kasus itu merugikan negara Rp.1,2 miliar. Di tanjung Pinang, Raja Faisal Yusuf yang pernah divonis 2,5 tahun penjara karena merugikan negara Rp.1,2 miliar masih menjadi kepala badan pelayanan perizinan terpadu. Yang paling menjadi perhatian publik mengenai korupsi di daerah adalah Bekas terpidana korupsi alih fungsi hutan lindung Bintan, Azirwan, yang diangkat menjadi Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan Riau.
Sudah barang tentu kemudian, kondisi yang terjadi tersebut akan memberikan noda hitam dalam usaha pemberantasan korupsi di Indonesia. pada gilirannya juga, kemudian pemerintah daerah tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi yang dimulai dari daerah. Seperti yang dikatakan Guru Besar Hukum Tata Negara Univ. Andalas Padang, Saldi Isra bahwa pemerintah daerah akan kehilangan legitimasi sosial. Masyarakat bisa membangkan, bahkan sangat mungkin semua program Pemda tidak mendapat dukungan sosial (Kompas, 9/11/12).
Mengambil garis antara kasus tersebut diatas dengan pendekatan etika, kemudian akan menghadapkan pada posisi pelaksanaan aturan melalui Undang-undang yang mengatur hal tersebut dan konteks etika moral dimasyarakat menanggapi hal tersebut. Dalam kebudayaan yang mengutamakan nilai-nilai luhur, kejujuran, keadilan yang kemudian diperhadapkan dengan korupsi, maka hal ini dianggap sebagai adanya pelanggaran etika.
Secara aturan bisa jadi bahwa, pejabat bekas terpidana korupsi tidak melanggar. Keterbatasan SDM didaerah juga bisa menjadi alasan peneguhan hal ini, karena keterbutuhan terhadap tenaga profesional yang hanya memiliki pilihan dari pejabat bersangkutan. Walaupun kecenderungan politis juga terdapat dalam kebijakan ini, tapi untuk itu merupakan wewenang dari kepala daerah yang bersangkutan. Kaitannya kemudian dengan persoalan etika, secara teknis tidak ada namun bisa jadi persoalan ini berkaitan dengan nilai moral birokrasi.
Disamping itu, persoalan tersebut diatas kemudian berhubungan dengan pejabat publik yang merupakan teladan dalam pelayanan birokrasi, juga sebagai simbol bagaimana sebuah oraganisasi birokrasi dijalankan. Dengan menempatkan pejabat bekas korupsi tentunya belum ada jaminan mengenai perbaikan dalam proses pelayanan birokrasi, karena jaminan adanya perbaikan moral individual setelah menjalani hukuman kasus korupsi pun adalah ranah individu tersebut. Padahal ini menyangkut etika sosial kemasyarakatan mengenai pelayanan birokrasi.
Dalam menganalisa etika yeng terlanggar dalam masalah ini, patut kiranya melihatnya pada metode pendekatan etika diatas yakni teleologis dan deontologi. Yang kemudian akan mengacu pada sisi manfaat pengangkatan pejabat tersebut dan juga sisi nilai moral “baik” dan “buruk” secara etika dalam melakukan itu.
Analisa Kasus
Masalah korupsi merupakan masalah yang besar dan menarik sebagai persoalan hukum yang menyangkut jenis kejahatan yang rumit penanggulangannya, karena korupsi mengandung aspek yang majemuk dalam kaitannya dengan politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Berbagai upaya pemberantasan sejak dulu ternyata tidak mampu mengikis habis kejahatan korupsi. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh 3 (tiga) faktor utama yaitu: kompleksitas persoalan korupsi, kesulitan menemukan bukti, dan adanya kekuatan yang menghalangi pemberantasan korupsi. Konstruksi sistem hokum pidana yang dikembangkan akhir-akhir ini di Indonesia masih bertujuan untuk mengungkap tindak pidana yang terjadi, menemukan pelaku serta menghukum pelaku dengan sanksi pidana, baik pidana penjara maupun pidana kurungan. Sementara itu, isu pengembangan hukum dalam lingkup internasional seperti konsepsi tentang system pembuktian terbalik terkait tindak pidana dan instrumen hukum pidana belum menjadi bagian penting di dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Selanjutnya, mengenai sistem atau beban pembuktian dalam tindak pidana korupsi, ternyata dalam praktek dijumpai banyak kendala karena pelaku tindak pidana korupsi melakukan kejahatannya dengan sangat rapi dan sistemik. Salah satu cara yang ditempuh untuk mengatasi keadaan tersebut adalah melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2010, dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang telah mencantumkan ketentuan mengenai pembuktian terbalik (reversal burden of proof). Persoalannya kemudian adalah apakah ketentuan tersebut telah diterapkan secara tepat dan utuh dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi sehingga implementasinya dapat berjalan dengan efektif sesuai dengan koridor hukum yang berlaku.
Korupsi merupakan salah satu bentuk kejahatan kemanusiaan, dimana tindakan ini kemudian memberikan implikasi negatif terhadap keberadaan etika dan moral. Saat ini korupsi seakan akrab dengan kekuasaan, bahkan sebagian besar korupsi di Indonesia terjadi pada wilayah birorasi oleh para pejabat. Fenomena baru yang terjadi adalah, pejabat bekas terpidana korupsi kemudian mendapatkan promosi dan jabatan struktural di pemerintah daerah.
Kondisi ini bertolak belakang dengan reformasi birokrasi, yang berusaha menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Upaya penciptaan good governance tentunya harus didukung dengan adanya pemerintahan yang bebas korupsi, dan etika dari aparat birokrasi dalam hal ini merupakan point pokok untuk itu.
Aturan berupa undang-undang maupun surat edaran menteri dalam negeri, mengenai usaha penangkalan pejabat korup yang kembali menjabat  masih belum bisa mengakomodasi keadaan tersebut. Padahal dalam peraturan sudah jelas mengatur bahwa pejabat bekas terpidana korupsi tidak boleh kembali menjabat. Peraturan-peraturan tersebut antara lain:

Aturan
Isi
Pasal 5, UU No.28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih KKN
Setiap penyelenggara negara dilarang untuk melakukan perbuatann korupsi, kolusi dan nepotisme.
Pasal 23 ayat 4, UU No.43/1999 tentang perubahan atas UU No.8/1974 tentang pokok-pokok Kepagawaian.
PNS diberhentikan dengan tidak hormat karena dihukum penjara yang ancaman hukumannya empat tahun atau lebih dan melakukan pelanggaran disiplin tingkat berat.
Pasal 5, UU No.100/2000 tentang Pengangkatan PNS dalam Jabatan Struktural
Persyaratan untuk dapat diangkat dalam jabatan struktural, antara lain prestasi kerja sekurang-kurangnya bernilai baik selam dua tahun terakhir.
Surat edaran Mendagri 800/4329/SJ tanggal 29 Oktober 2012 tentang Pengangkatan Kembali PNS dalam Jabatan Struktural
Terhadap pegawai negeri sipil yang telah menjalani hukuman pidana disebabkan tindak pidana korupsi atau kejahatan jabatan lainnya agar tidak diangkat dalam jabatan struktural.
                                                                                            Sumber : Litbang Kompas
Berdasarkan permasalahan yang terjadi saya menganalisis adanya kecenderungan pelanggaran etika pada fenomena mantan pejabat terpidana korupsi yang kembali menjabat, yaitu :
  • Pelanggaran pada etika sosial, mengenai kepatutan dan kepantasan. Dimana pengangkatan pejabat tersebut memang secara hukum formal bukanlah sebuah pelanggaran. Yang mana pada Pasal 23 ayat 4, UU No.43/1999 tentang perubahan atas UU No.8/1974 tentang pokok-pokok Kepagawaian menyatakan bahwa PNS diberhentikan dengan tidak hormat karena dihukum penjara yang ancaman hukumannya empat tahun atau lebih dan melakukan pelanggaran disiplin tingkat berat. Dari aturan ini, belum bisa memberikan sangsi kepada pejabat terpidana tersebut karena rata-rata terpidana dihukum paling lama adalah 2, 5 tahun penjara. Walaupun demikian, tetap saja hal tersebut adalah pelanggaran terhadap etika. Dalam etika sosial bahwa pelaku korupsi adalah pelaku tindakan kriminal, walaupun telah dihukum maupun dikenai denda kejahatan korupsi tetaplah kejahatan. Merit system dalam pengangkatan pejabat dalam hal ini tidak ada, dimana PNS mesti memiliki nilai keteladanan, kejujuran dan integritas sebagai seorang pejabat publik tentunya telah rusak oleh perilaku ini.
  • Pelanggaran terhadap etika politik, dimana etika politik didasarkan pada kondisi moral yang berdasar pada kepentingan publik. hal ini menyangkut terhadap keputusan pejabat ataupun pemimpin politik. Etika politik kemudian terlanggar dalam fenomena ini karena politik dijadikan sebagai penggunaan kekuasaan diatas kepentingan pribadi. Fenomena pengangkatan pejabat daerah yang merupakan bekas terpidana korupsi, disenarai didasarkan pada adanya kepentingan kepala daerah terhadap pejabat tersebut. Bisa jadi kemudian aspek kedekatan dan alasan pilkada, yang mana pejabat tersebut adalah tim sukses kepala daerah maupun donatur dalam pilkada. Disini kemudian legitimasi politik kepala daerah yang didapat dari pilihan politik masyarakat didaerah, dilanggar dengan menempatkan pejabat korup di jabatan struktural dan hal ini tentu bentuk pengabaian amanat rakyat.
  • Pelanggaran etika birokrasi, dimana dengan promosi dan pengangkatan pejabat bekas terpidana korupsi ini memberikan gambaran tidak adanya integritas dalam birokrasi, juga kemudian tidak adanya keteladanan, kejujuran dalam aparatnya. Tidak berjalannya proses merit sistem menjadikan birokrasi yang hanya berorientasi pada kekuasaan dan besar dipengaruhi oleh politik, yang semestinya birokrasi adalah netral. Dari peristiwa ini juga, kemudian melanggar etika promosi jabatan. Dimana tidak memberikan peluang kepada pejabat bersih dan memiliki dedikasi tinggi untuk membentuk birokrasi yang bersih dan akuntabel serta berkeadilan sosial. Tentunya hal ini sejalan dengan pelayanan publik yang baik kepada masyarakat.
Kemudian mengapa pejabat korup tersebut tetap dianggkat menjadi pejabat, meskipun pernah terjerat kasus korupsi. Jawabannya adalah karena adanya kepentingan dan pengaruh dari politik, adanya memanipulasi dalam lembaga pemerintah, dan adanya pengaruh administrasi yang buruk.
PEMBAHASAN
             Etika birokrasi merupakan norma aturan yang melekat pada anggota atau aparat birokrasi itu sendiri di manapun dan kapan dia berada, baik di kantor maupun di tengah-tengah masyarakat dia terikat dengan aturan kepegawaian dan aturan norma dalam masyarakat yang menjadi landasan etika dalam bertindak dan berprilaku dalam melaksanakan tugasnya. Etika birokrasi bukan hanya sekedar retorika yang didengungkan oleh pemerintah,akan tetapi bagaimana aplikasinya dalam berprilaku sebagai aparat birokrasi. Dan bagaimana hukuman atau sanksi perlu ditegakkan secara merata tanpa pandang bulu.
Birokrasi diharapkan menjadi pelayan masyarakat, abdi negara dan teladan bagi masyarakat. Namun pada prakteknya, reformasi birokrasi yang bertujuan luhur tersebut belum sepenuhnya berhasil diterapkan dalam pemerintahan kita. Rendahnya kualitas pelayanan publik dan praktek-praktek korupsi masih berlangsung hingga saat ini. Michael Lipsky (1980) menjelaskan bahwa birokrasi street – level mempraktekkan pemberian diskresi atas dispensasi manfaat atau alokasi sanksi. Lipsky berargumen bahwa praktek birokrasi bawahan tersebut merupakan mekanisme untuk mengatasi situasi yang sulit, yakni sebagai upaya untuk keluar dari situasi frustatif antara besarnya permintaan pelayanan dan keterbatasan sumber daya yang dimiliki. Hanya saja, teori tersebut relatif gagal menjelaskan fenomena terungkapnya kasus korupsi dan makelar kasus yang melibatkan aparat Direktorat Jenderal Pajak, kejaksaan, MA, serta kepolisian. Bila sumber daya yang dimaksud berkaitan dengan fasilitas institusi dan gaji, pegawai di instansi-instansi tersebut telah mengalami perbaikan remunerasi, pengembangan sumber daya manusia, dan reformasi ketatalaksanaan dalam beberapa tahun terakhir. Artinya, gaji besar bukanlah merupakan faktor frustratif yang menjadikan para pelaku tersebut melakukan diskresi bagi pihak- pihak yang berperkara. Masih ada faktor lain yang menyebabkan mereka berbuat demikian. Etika birokrasi seharusnya diterapkan aparatur negara dalam menjalankan tugasnya.
Dalam memahami konsep etika, kita harus berangkat dari pemahaman mengenai moral. Moral menyangkut persoalan manusia dengan manusia. Misalnya seseorang yang disukai banyak orang karena kebaikan hatinya meskipun ia kurang dalam segi kualitas profesinya akan tetap dianggap sebagai orang yang baik. Etika politik sendiri menyangkut tanggung jawab dan kewajiban dari manusia sebagai manusia.
Aristoteles mengatakan bahwa identitas manusia yang baik dan warga negara yang baik hanya terdapat bila warga negaranya baik. Jadi seseorang yang tidak menyukai tindakan amoral dia akan baik sebagai manusia tetapi akan buruk sebagai warga negara bila negara mensahkan tindakan amoral tersebut. Contohnya adalah perjudian dsb (Suseno, 2003).
Peradaban manusia bukan hanya ditentukan oleh tingginya nilai seni dari artefak yang diciptakannya, luasnya ilmu pengetahun yang dijangkaunya, maupun aplikasi teknologi yang ditemukannya. Dalam banyak segi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu justeru mendorong manusia untuk bertindak korup dan melawan nuraninya. Itulah sebabnya Rousseau menganjurkan supaya manusia kembali ke alam, retour a lanature. Bahwa moralitas yang asli dan benar-benar manusiawi justeru ditemukan dalam manusia yang masih alamiah. Bahwa manusia harus identik dengan dirinya sendiri untuk mencari kebaikan dan kebenaran sejati (Kumorotomo, 1994, hal. 2).
Ketika membahas mengenai etika atau moralitas dalam penyelenggaraan negara, pemikiran Rousseau ini agaknya masih relevan. Setiap aparat birokrasi seharusnya kembali ke alam (retour a lanature), yang berarti bahwa aparat birokrasi seharusnya bekerja berlandaskan pada moralitas yang asli dan manusiawi. Moralitas yang asli dan manusiawi itu merupakan perwujudan dari ide-ide agung.
Membahas mengenai birokrasi dan etika yang berkaitan dengan itu, tentu kemudian birokrasi dilihat sebagai sebuah organisasi publik dengan etika yang tercermin dalam aturan yang berlaku dalam birokrasi. Namun juga, bahwa birokrasi tidak terlepas pada keberadaan etika individu atau yang sering disebut sebagai etika kebajikan. Etika ini berkenaan dengan individu dalam birokrasi, disini kemudian berkenaan terhadap moral dari para birokrat tersebut.
Dengan terciptanya nilai-nilai kebajikan dalam individu birokrasi (aparat birokrasi), kemudian mendukung dalam penciptaan layanan dan tata pemerintahan yang baik dalam birokrasi dan kepada masyarakat. Selanjutnya administrator yang bajik (virtuous administrator) adalah yang berusaha, seperti dikatakan oleh Hart (1995, dalam Kartasasmita, 1996) agar kebajikan menjadi sentral dalam karakternya sendiri, yang akan membimbingnya dalam perilakunya dalam organisasi. Akhirnya, etika profesional bagi aparat birokrasi sangat ditekankan disini, dimana aparat birokrasi sebagai pengabdi masyarakat tentunya menempatkan etika sebagai bagian dari proses pelayanan publik.
Saat ini menjadi permasalahan pokok di birokrasi kita adalah menurunya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap proses birokrasi, persoalan pelik lainnya adalah korupsi yang menggerogoti tubuh birokrasi. Beberapa waktu lalu, santer terdengar kemudian pejabat terpidana korupsi kembali dipromosikan bahkan diberikan jabatan struktural di pemerintah daerah.
Setidaknya terdapat 153 pejabat yang dipidana korupsi, dan telah selesai menyelesaikan hukumannya kembali diberikan jabatan struktural didaerah. Dalam pengangkatan dan promosi bagi pegawai di daerah dalam jabatan struktural, Kemendagri sebenarnya telah mengeluarkan surat edaran Mendagri nomor 800/4329/SJ tentang pengangkatan kembali PNS dalam Jabatan Struktural. Surat edaran tersebut menegaskan bahwa bekas terpidana dilarang jadi pejabat. Sedangkan mereka yang sudah diangkat harus diberhentikan. Namun dalam prosesnya surat edaran tersebut disebutkan oleh beberapa pihak bukan merupakan aturan yang memiliki kekuatan hukum yang kuat.
 PENUTUP
Kesimpulan
Kembali menjabatnya para pejabat yang pernah tersangkut korupsi telah merusak etika dan moral dari birokrasi Indonesia. Tidak selayaknya mereka kembali mendapatkan jabatan dalam pemerintahan, terlebih mereka mendapatkan kedudkan tersebut karena adanya kepentingan politik. Birokrasi harusnya menjadi tempat bagi orang-orang yang profesional, beretika, dan bermoral baik.
Setidaknya terdapat 153 pejabat yang dipidana korupsi, dan telah selesai menyelesaikan hukumannya kembali diberikan jabatan struktural didaerah. Aturan Pasal 5, UU No.28/1999,  Pasal 23 ayat 4, UU No.43/1999, Pasal 5, UU No.100/2000, dan Surat edaran Mendagri 800/4329/SJ tanggal 29 Oktober 2012 masih belum bisa dijadikan sebagai patokan bahwa pelanggaran terhapa etika birokrasi berkurang.
Seperti yang dikatakan Karl Marx dalam teorinya bahwa birokrasi tersebut adalah klasnya pemerintah itu sendiri dan bukan klasnya masyarakat. Birokrasi adalah instrument yang digunakan oleh klas yang dominan untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya atas klas-klas sosial lainnya. Karena adanya dominasi dari pihak yang dominan inilah, yang menyebabkan birokrasi tersebut sering dijadikan sebagia wadah perpolitik. Akibat dari perpolitikan itulah para pejabat yang sebenarnya secara etika birokrasi tidak layak menjabat bisa tetap memperoleh jabatan dalam pemerintahan.
Rekomendasi
Dari fenomena tersebut diatas, maka penulis memberikan rekomendasi untuk memberikan masukan dalam mencegah terjadinya pelanggaran etika, yaitu :
  1. Internalisasi nilai-nilai etika birokrasi, bukan saja kepada kepala daerah maupun pejabat tinggi didaerah namun juga ditingkat staff. Sehingga akan terbentuk sikap moral birokrasi yaitu tanggungjawab, jujur, kesetiaan, berorientasi pada keadilan sosial, resnponsif, dan mampu mengembangkan diri kearah yang lebih baik.
  2. Membuat Kode etik aparat birokrasi, yang kemudian bukan saja ditujukan untuk pejabat namun juga staff. Penguatan pada sangsi juga dilakukan, dimana ada sebuah sangsi hukum dan sangsi sosial. Untuk kasus pelanggaran etika yang besar, misalnya korupsi pemecatan secara tidak hormat adalah sangsi yang akan diterima yang bersangkutan. Hal inipun, tidak dilihat dari besaran jumlah maupun pidana yang dijatuhkan, ketika terbukti korupsi maka satu-satunya sangsi adalah pemecatan secara tidak hormat.
  3. Adanya good will semua pihak bahwa korupsi adalah kejahatan kemanusiaan, bukan saja sebatas oleh pemerintah pusat namun juga pemerintah daerah, dalam menciptakan pemerintahan yang bebas korupsi yakni dengan mengedepankan tegaknya etika para aparat birokrasi. Penghargaan kepada aparat dengan melakukan perekrutan berdasarkan kompetensi yang dimiliki (merit system), diperlukan untuk kembali membangun kepercayaan publik terhadap pemerintah.
  4. Penegasan Aturan Pengangkatan Pejabat Publik, khusunya kepada pejabat bekas terpidana korupsi. Saat ini upaya yang dilakukan Kemendagri melalui Surat Edaran memang belum bisa dijadikan patokan untuk tidak terulangnya dilanggarnya etika birokrasi. Untuk itu, melalui rencana Kemendagri bersama kementrian Pendayahgunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi akan membahas usulan aturan yang lebih tegas bahwa PNS yang divonis bersalah karena korupsi dan sudah berkekuatan hukum tetap langsung diberhentikan dengan tidak hormat yang diusulkan masuk dalam rancangan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara perlu adanya partisipasi publik dalam pemantauannya.
  5. Pengawasan dan evaluasi, dilakukan secara berkala terhadap kinerja aparat birokrasi. Dan kemudian diperlukan adanya transparansi agar masyarakat ikut mengawasi jalanya kode etik birokrasi, pemberdayaan masyarakat dalam hal ini diperlukan sebagai sarana penciptaan good governance




DAFTAR PUSTAKA
  • Zamroni, Muhamad. Progrissive Review: Verification Reverse Principle Implementation (Reversed Onus) Against Corruption. Indonesia Journal of Legislation Vol. 8 No. 2.
  • Mulyadi, Mahmud. Corruption Reduction in Criminal Policy Perspective. Indonesia Journal of Legislation Vol. 8 No. 2.
  • Kennedy, Anthony. “An Evaluation of the Recovery of Criminal Proceeds in the United Kingdom”. Journal of Money Laundering Control, Vol.10, No.1, Tahun 2007.
  • Manzetti, Luigi (Southern Methodist University, Dallas, Texas), Wilson, Carole J (University of Texas,Dallas). Why Do Corrupt Goverment maintain Public Support (Mengapa pemerintah korup tertap mendapatkan dukungan public). Review Artikel Jurnal oleh Saptamaji, M.Rolip.
  • Mahfud, Choirul. “Etika Politik, Moralitas Publik, dan Demokratisasi di Tingkat Lokal”, Jurnal Vol.2 No.2 Juni 2008; 53-69.
  • Djakfar, Yunizir. “Implementasi Etika Birokrasi dalam Meningkatkan Akuntabilitas Aparat”. Artikel Jurnal Volume 4, No. 7 Juni 2011; 9 – 13.
  • Septiyani Rridiyah, dan Swastha Dharma. “Reformasi Birokrasi Setengah Hati (Etika Aparatur Negara yang Terlupakan”. Artikel Jurnal Mahasiswa Magister Ilmu Administrasi Universitas Jenderal Soedirman.
  • Ardisasmita, M. Syamsa . “Definisi Korupsi Menurut Perspektif Hukum Dan E-Announcement Untuk Tata Kelola Pemerintahan Yang Lebih Terbuka, Transparan Dan Akuntabel”. Artikel Jurnal KPK.
  • Wijaya, Andy Arya Maulana. “Pejabat Terpidana Korupsi kembali Menjabat : Tinjauan Etika Birokrasi”. Artikel.
  • Kartasasmita, Ginandjar. Etika Birokrasi Dalam Administrasi Pembangunan Tantangan Menghadapi Era Globalisasi, Makalah disampaikan pada Orasi Ilmiah Dies Natalis Ke -41 Fisipol UGM Yogyakarta, 19 September 1996
  • Kumorotomo, Wahyudi. 1994, Etika Administrasi Negara, Cetakan ke-2, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
  • MD, Moh. Mahfud. Etika Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara Berdasarkan Konstitusi.  Makalah pada Kuliah Perdana Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Senin, 17 September 2012 di Gedung Grha Sabha Pramana UGM, Yogyakarta.
  • Suseno, Franz Magnis. 2003, Etika Politik : Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kebegaraan Modern, cetakan ke-7, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Surat Kabar :
  • Kompas, Edisi Senin 5 November 2012, Bersihkan Pemerintahan; Masih Banyak Bekas Terpidana Korupsi Bercokol di Pemerintah Daerah, Hal 1 dan 15 kol.4-7.
  • Kompas, Edisi Senin 5 November 2012, Thee Kian wie: Menanggulangi Korupsi di Indonesia, Opini Hal 6.
  • Kompas, Edisi Selasa 6 November 2012, 153 PNS Bekas Terpidana; Sejumlah Pejabat di Daerah Tak Gubris Edaran Mendagri, hal 1 dan 15 kol.4-7.
  •  Kompas, Edisi Rabu 7 November 2012, Amanat Rakyat Diabaikan; Kepala Daerah Harus Punya Sensitivitas Tinggi Perangi Korupsi. Hal 1 dan 15 kol.4-7.
  • Kompas, Edisi Rabu 7 November 2012, Rendy Pahrun Wadipalap; Arwah Birokrasi, Opini hal.6.
  • Kompas, Edisi Kamis 8 November 2012, Promosi Eks Terpidana Korupsi; Beri Sanksi Kepala Daerah, hal.2.
  • Kompas Edisi Jumat 9 November 2012, Cabut Sk Bekas Terpidana: Cederai Gerakan Pemberantasan Korupsi, hal 1 dan 15 kol.1-2.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar