Oleh :
DEDE ANDREAS
(Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Palangka Raya, Jurusan Ilmu Pemerintahan)
ABSTRAK
Artikel ini dibuat untuk mengetahui kenapa para
pejabat mantan terpidanan korupsi bisa kembali menjabat dan seperti apa etika
dalam birokrasi sehingga keadaan tersebut bisa terjadi. Kasus para pejabat
mantan terpidana korupsi yang kembali menjabat sudah sering sekali terjadi,
keadaan ini seakan-akan bertolak belakang dengan semangat untuk memberantas
korupsi.Yang patut kita pertanyakan adalah apakah selama ini Negara kita
kekurangan orang yang baik untuk mengisi jabatan dibirokrat, sampai-sampai para
pejabat mantan terpidana korupsi masih saja diberikan kepercayaam untuk
menjabat. Keadaan seperti ini juga perlu diperhatikan oleh pemerintah, karena
apabila dibiarkan keadaan tersebut akan membuat birokrasi memiliki etika yang buruk
dalam pandangan masyarakat.
Kata Kunci : Etika,
Birokrasi, Pejabat, dan Korupsi
PENDAHULUAN
Etika Birokrasi para pejebat terpidanan korupsi yang kembali memperoleh
jabatan dalam struktural pemerintahan perlu kita pertanyakan. Tidakan tersebut
memperburuk citra para birokrat di Indonesia. Birokrasi Indonesia harusnya
menjadi panutan dan berjalan atas kehendak rakyat bukan berdasarkan kehendak
pribadi atau sebuah organisasi politik tertentu. Etika birokrasi
dan moralitas aparatnya saat ini menjadi kajian yang menarik, setidaknya ada
dua perhatian utama yaitu semakin menurunya kepercayaan publik kepada
birokrasi, dan adanya tuntutan
menciptakan tata pemerintahan yang baik yang berlandaskan pada etika dan moral.
Disisi lain, dalam penerapannya kemudian bersinggungan dengan kasus korupsi
yang terjadi di birokrasi.
The
problem of corruption is a complexas legal, because it contains political,
economic, and socio-cultural aspects. Artinya adalah “Masalah korupsi merupakan masalah yang besar dan
menarik sebagai persoalan hukum yang menyangkut jenis kejahatan yang rumit
penanggulangannya, karena korupsi mengandung aspek yang majemuk dalam kaitannya
dengan politik, ekonomi, dan sosial-budaya”. Seperti yang kita tau “Corruption
is the extra ordinary crime. The criminal policy of the corruption is need the
comprehensive policy. This policy can develop with combine penal policy and non
penal policy”. Artinya adalah “korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra
ordinary crime). Penanggulangan tindak pidana korupsi ini membutuhkan suatu
kebijakan penanggulangan kejahatan yang komprehensif. Kebijakan ini harus memadukan
pendekatan penerapan hukum pidana dan pendekatan tanpa menggunakan hukum
pidana.”
Semangat pemberantasan korupsi di
Indonesia yang menggelora saat ini, seakan tercederai dengan adanya pejabat
bekas terpidana kasus korupsi dipromosikan bahkan kembali menjabat di
struktural pemerintah daerah. Walaupun memang pejabat yang bersangkutan, telah
selesai melaksanakan masa hukuman yang diberikan atas dakwaan korupsi yang
dilakukannya. Namun hal ini tentunya memberi noda hitam pemberantasan korupsi di
negeri ini dan juga penciptaan tata pemerintahan yang baik (good governance) jika terus terjadi,
karena seyogyanya aparat birokrasi harus memiliki nilai moral yang baik untuk
menciptakan pemerintahan yang bersih. Sehingga tidak salah sebuah jurnal asing
menyatakan bahwa “corruption is way of
life in Indonesia”.
Serangkaian kasus
pengangkatan atau pemberian jabatan struktural di pemerintah daerah, kepada
para pelaku korupsi adalah hal yang banyak menuai protes publik. setidaknya
bahasan mengenai ini diangkat sebagai berita utama harian Kompas edisi tanggal
5-9 November 2012. Sebagaimana salah satu contoh adalah di Kabupaten Riau,
memberikan promosi jabatan kepada terpidana korupsi alih guna lahan hutan
lindung, Azirwan. Hal ini menunjukkan adanya pembangkangan atas nilai-nilai
moral birokrasi.
Dengan begitu kemudian
birokrasi menjadi semakin tercerabut dari masyarakat, setelah menurunya
kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi pada pelayanan publik. jika hal ini
terus dibiarkan bisa jadi adanya pembangkangan masyarakat terhadap birokrasi
dan program-programnya. Apakah kemudian hal ini menjadi tujuan dari birokrasi
kita?, yang dalam prosesnya semakin memisahkan diri dari pihak yang semestinya
dilayaninya, masyarakat.
Dalam tulisan ini, kemudian akan membahas
mengenai perilaku korupsi dan kejadian pengangkatan kembali para pejabat yang
telah dipidana korupsi dalam jabatan struktural di daerah. Yang kemudian
dilihat sebagai bentuk pelanggaran etika administrasi, sehingga menjadi acuan
dalam menganalisis untuk dapat memberikan rekomendasi atas masalah etis dalam
birokrasi kita.
LANDASAN
TEORI
Kerangka
Dasar Teori
a. Pengertian Etika
Menurut
Socrates etika adalah
penyelidikan kehidupan. Etika dapat didefinisikan sebagai; ilmu praktis yang
berkaitan dengan moralitas tindakan manusia, ilmu tindakan manusia yang
berfungsi sebagai referensi untuk apa yang benar atau apa yang salah, semacam
penyelidikan ilmiah ke dalam prinsip-prinsip moralitas, cara mempelajari
perilaku manusia dari titik pandang dari apa yang disebut moralitas, suatu
jenis ilmu pengetahuan yang meletakkan prinsip-prinsip hidup yang tepat, sebuah
studi tentang kejujuran dari perilaku manusia, ilmu praktis yang panduan dalam
tindakan manusia serta bagaimana manusia hidup benar dan baik, dan itu adalah
ilmu yang normatif dan praktis dan berbasis pada alasan yang mempelajari
perilaku manusia serta memberikan norma kejujuran alam serta integritas.
b. Birokrasi
Menurut
Bintoro Tjokroamidjojo (1984) ”Birokrasi dimaksudkan untuk mengorganisir secara
teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak orang”. Dengan
demikian sebenarnya tujuan dari adanya birokrasi adalah agar pekerjaan dapat
diselesaikan dengan cepat dan terorganisir. Bagaimana suatu pekerjaan yang
banyak jumlahnya harus diselesaikan oleh banyak orang sehingga tidak terjadi
tumpang tindih di dalam penyelesaiannya, itulah yang sebenarnya menjadi tugas
dari birokrasi.
c. Pejabat
Pejabat adalah orang yang menduduki jabatan tertentu dalam suatu
pemerintahan serta mempunyai kekuasaan dan tugas untuk mengatur keadaan sesuai
dengan jabatannya. Jabatan Ialah sekumpulan
pekerjaan yang berisi tugas-tugas yang sama atau berhubungan satu dengan yang
lain, dan yang pelaksanaannya meminta kecakapan, pengetahuan, keterampilan dan
kemampuan yang juga sama meskipun tersebar di berbagai tempat.
d. Korupsi
Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah
dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah
dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam 30 bentuk/jenis
tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci
mengenai perbuatan yang bisa
dikenakan
sanksi pidana karena korupsi. Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi
tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.
Kerugian keuangan negara
2.
Suap-menyuap
3.
Penggelapan dalam jabatan
4.
Pemerasan
5.
Perbuatan curang
6.
Benturan kepentingan dalam pengadaan
7.
Gratifikas
Dalam
ilmu politik: Korupsi merupakan penyalah gunaan jabatan dan administrasi,
ekonomi atau politik, baik yang disebabkan oleh diri sendiri maupun orang lain
yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan pribadi, sehingga menimbulkan
kerugian bagi masyarakat umum, perusahaan atau pribadi lainnya.
Teori
Birokrasi Karl Marx
Karl Marx mulai mengelaborasi konsep
birokrasi dengan menganalisa dan mengkritik falsafah Hegel mengenai negara yang
menganalisis bahwa administrasi negara atau birokrasi sebagai suatu jembatan
antara negara (pemerintah) dengan kelompok masyarakat, dimana kelompok
masyaakat terdiri dari kelompok kepentingan khusus (particular interest) yang
diwakili oleh kelompok para pengusaha dan kelompok profesional, sedangkan
kelompok kepentingan umum (general interest) diwakili oleh negara. Diantara
keduanya pemerintah merupakan perantara yang memungkinkan pesan-pesan
kpentingan khusus tersalurkan ke kepentingan umum, sehingga birokrasi juga
diharuskan pada posisi netral.
Menurut Marx, negara itu tidak mewakili
kepentingan umum, tetapi mewakili khusus dari kelas dominan. Dari
perspektif ini, birokrasi merupakan kepentingan partikular yang mendominasi
kepentingan partikular lainnya. Kepentingan partikular yang memenangkan perjuangan
klas itulah yang dominan dan berkuasa. Birokrasi merupakan suatu instrumen
dimana klas dominan melaksanakan dominasinya atas klas lainnya. Dalam hal ini
kepentingan birokrasi pada tingkat tertentu menjalin hubungan intim dengan klas
dominan dalam suatu negara. Dari sinilah netral atau tidak netral birokrasi
mulai dibicarakan.
Pemikiran Hegel dan Marxs, pada
prinsipnya menempatkan posisi birokrasi sebagai satu kelompok kepentingan
tersendiri. Hegel menekankan bahwa birokrasi merupakan penengah antara negara
dan masyrakat yang harus netral sedangkan Marx menekankan bahwa birokrasi juga
merupakan klas tersendiri yang tidak mungkin netral melainkan berpihak pada
klas yang berkuasa.
Birokrasi menurut Karl Marx merupakan
suatu kelompok partikular yang sangat spesifik. Birokrasi bukanlah klas
masyarakat, walaupun eksistensinya berkaitan dengan pembagian masyarakat ke
dalam klas-klas tertentu. Lebih tepatya birokrasi adalah negara atau pemerintah
itu sendiri.
Birokrasi adalah instrument yang
digunakan oleh klas yang dominan untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya atas
klas-klas sosial lainnya. Dengan kata lain birokrasi memihak kepada klas
partikular yang mendominasi. Birokrasi sendiri pada tingkatan tertentu
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan klas yang dominan dan pada
pemerintahan, eksistensinya sangat tergantung pada klas yang dominan dan pada
pemerintahan.
KASUS
Contoh
Kasus
Pada Harian Kompas (9/11/12), Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi
mengatakan bahwa surat edaran menteri tersebut sebagai pengingat dan pembinaan
kepada kepala-kepala daerah bahwa pemecatan PNS yang korup telah diatur di
dalam Undang-Undang Pokok Kepegawaian. Disitu juga ditegaskan bahwa Mendagri
akan mencabut surat keputusan pengangkatan bekas terpidana korupsi yang menjadi
pejabat struktural di pemerinta daerah.
Koran Kompas (9/11/12),
melansir hingga saat ini daerah yang tercatat memberikan jabatan kepada bekas
terpidana korupsi di pemerintah daerah, antara lain Kabupaten Karimun, Kota
Tanjung Pinang, Kabupaten Natuna, Kabupaten Lingga, Kabupaten Majene, Provinsi
Maluku Utara, dan Kabupaten Buru.
Di Lingga, empat bekas terpidana tersebut diberi jabatan antara lain,
kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perhubungan Iskandar Ideris, Kepala Satuan
Polisi Pamong Praja Togi Simanjuntak, keduanya dipidana dalam kasus korupsi
pembangunan Dermaga Rejai. Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Dedy ZN yang
mana dia dipenjara 16 bulan karena merugikan negara Rp. 1,3 miliar dalam kasus
pencetakan sawah di Singkep Barat. Selain itu Kepala Badan Arsip dan
Perpustakaan Jabar Ali, dipenjara 20 bulan karena terlibat korupsi proyek
gedung di dinas pendidikan, pemuda dan olahraga.
Sedangkan di Pemerintah Kabupaten Natuna, Senagip menjadi Kepala Dinas
Perindustrian dan Perdagangan. Ia juga menjadi sekretaris KPU Natuna sekaligus
tengah memimpin proyek pembangunan pabrik tapioka. Tahun ini Natuna mengalokasi
Rp. 15 miliar untuk proyek itu. ada juga Yusrizal yang menjadi Kepala Badan,
dan keduanya pernah divonis 30 bulan penjara karena korupsi dana bagi hasil
migas tahun 2007.
Lebih lanjut, di Karimun Yan Indra menjabat kepala dinas pemuda dan
olahraga. Indra pernah divonis 1,5 tahun penjara karena terlibat korupsi
pembebasan lahan untuk PT. Saipem Indonesia tahun 2007. Kasus itu merugikan
negara Rp.1,2 miliar. Di tanjung Pinang, Raja Faisal Yusuf yang pernah divonis
2,5 tahun penjara karena merugikan negara Rp.1,2 miliar masih menjadi kepala
badan pelayanan perizinan terpadu. Yang paling menjadi perhatian publik
mengenai korupsi di daerah adalah Bekas terpidana korupsi alih fungsi hutan
lindung Bintan, Azirwan, yang diangkat menjadi Kepala Dinas Kelautan dan
Perikanan Kepulauan Riau.
Sudah barang tentu kemudian, kondisi yang terjadi tersebut akan
memberikan noda hitam dalam usaha pemberantasan korupsi di Indonesia. pada
gilirannya juga, kemudian pemerintah daerah tidak mendukung upaya pemberantasan
korupsi yang dimulai dari daerah. Seperti yang dikatakan Guru Besar Hukum Tata
Negara Univ. Andalas Padang, Saldi Isra bahwa pemerintah
daerah akan kehilangan legitimasi sosial. Masyarakat bisa membangkan, bahkan
sangat mungkin semua program Pemda tidak mendapat dukungan sosial (Kompas,
9/11/12).
Mengambil
garis antara kasus tersebut diatas dengan pendekatan etika, kemudian akan
menghadapkan pada posisi pelaksanaan aturan melalui Undang-undang yang mengatur
hal tersebut dan konteks etika moral dimasyarakat menanggapi hal tersebut.
Dalam kebudayaan yang mengutamakan nilai-nilai luhur, kejujuran, keadilan yang
kemudian diperhadapkan dengan korupsi, maka hal ini dianggap sebagai adanya
pelanggaran etika.
Secara
aturan bisa jadi bahwa, pejabat bekas terpidana korupsi tidak melanggar.
Keterbatasan SDM didaerah juga bisa menjadi alasan peneguhan hal ini, karena
keterbutuhan terhadap tenaga profesional yang hanya memiliki pilihan dari
pejabat bersangkutan. Walaupun kecenderungan politis juga terdapat dalam
kebijakan ini, tapi untuk itu merupakan wewenang dari kepala daerah yang
bersangkutan. Kaitannya kemudian dengan persoalan etika, secara teknis tidak
ada namun bisa jadi persoalan ini berkaitan dengan nilai moral birokrasi.
Disamping
itu, persoalan tersebut diatas kemudian berhubungan dengan pejabat publik yang
merupakan teladan dalam pelayanan birokrasi, juga sebagai simbol bagaimana
sebuah oraganisasi birokrasi dijalankan. Dengan menempatkan pejabat bekas
korupsi tentunya belum ada jaminan mengenai perbaikan dalam proses pelayanan
birokrasi, karena jaminan adanya perbaikan moral individual setelah menjalani
hukuman kasus korupsi pun adalah ranah individu tersebut. Padahal ini
menyangkut etika sosial kemasyarakatan mengenai pelayanan birokrasi.
Dalam
menganalisa etika yeng terlanggar dalam masalah ini, patut kiranya melihatnya
pada metode pendekatan etika diatas yakni teleologis dan deontologi. Yang
kemudian akan mengacu pada sisi manfaat pengangkatan pejabat tersebut dan juga
sisi nilai moral “baik” dan “buruk” secara etika dalam melakukan itu.
Analisa Kasus
Masalah korupsi
merupakan masalah yang besar dan menarik sebagai persoalan hukum yang
menyangkut jenis kejahatan yang rumit penanggulangannya, karena korupsi
mengandung aspek yang majemuk dalam kaitannya dengan politik, ekonomi, dan
sosial-budaya. Berbagai upaya pemberantasan sejak dulu ternyata tidak mampu mengikis
habis kejahatan korupsi. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh 3 (tiga) faktor
utama yaitu: kompleksitas persoalan korupsi, kesulitan menemukan bukti, dan adanya
kekuatan yang menghalangi pemberantasan korupsi. Konstruksi sistem hokum pidana
yang dikembangkan akhir-akhir ini di Indonesia masih bertujuan untuk mengungkap
tindak pidana yang terjadi, menemukan pelaku serta menghukum pelaku dengan
sanksi pidana, baik pidana penjara maupun pidana kurungan. Sementara itu, isu
pengembangan hukum dalam lingkup internasional seperti konsepsi tentang system pembuktian
terbalik terkait tindak pidana dan instrumen hukum pidana belum menjadi bagian
penting di dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Selanjutnya, mengenai sistem
atau beban pembuktian dalam tindak pidana korupsi, ternyata dalam praktek
dijumpai banyak kendala karena pelaku tindak pidana korupsi melakukan kejahatannya
dengan sangat rapi dan sistemik. Salah satu cara yang ditempuh untuk mengatasi
keadaan tersebut adalah melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Undang- Undang Nomor 8
Tahun 2010, dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang telah mencantumkan
ketentuan mengenai pembuktian terbalik (reversal burden of proof). Persoalannya
kemudian adalah apakah ketentuan tersebut telah diterapkan secara tepat dan
utuh dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi sehingga implementasinya dapat
berjalan dengan efektif sesuai dengan koridor hukum yang berlaku.
Korupsi merupakan salah
satu bentuk kejahatan kemanusiaan, dimana tindakan ini kemudian memberikan
implikasi negatif terhadap keberadaan etika dan moral. Saat ini korupsi seakan
akrab dengan kekuasaan, bahkan sebagian besar korupsi di Indonesia terjadi pada
wilayah birorasi oleh para pejabat. Fenomena baru yang terjadi adalah, pejabat
bekas terpidana korupsi kemudian mendapatkan promosi dan jabatan struktural di
pemerintah daerah.
Kondisi ini bertolak
belakang dengan reformasi birokrasi, yang berusaha menciptakan pemerintahan
yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Upaya penciptaan good governance tentunya harus didukung
dengan adanya pemerintahan yang bebas korupsi, dan etika dari aparat birokrasi
dalam hal ini merupakan point pokok untuk itu.
Aturan berupa undang-undang maupun surat edaran menteri dalam negeri,
mengenai usaha penangkalan pejabat korup yang kembali menjabat masih belum bisa mengakomodasi keadaan
tersebut. Padahal dalam peraturan sudah jelas mengatur bahwa pejabat bekas
terpidana korupsi tidak boleh kembali menjabat. Peraturan-peraturan tersebut
antara lain:
Aturan
|
Isi
|
Pasal 5, UU No.28/1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih KKN
|
Setiap penyelenggara
negara dilarang untuk melakukan perbuatann korupsi, kolusi dan nepotisme.
|
Pasal 23 ayat 4, UU
No.43/1999 tentang perubahan atas UU No.8/1974 tentang pokok-pokok
Kepagawaian.
|
PNS diberhentikan
dengan tidak hormat karena dihukum penjara yang ancaman hukumannya empat
tahun atau lebih dan melakukan pelanggaran disiplin tingkat berat.
|
Pasal 5, UU
No.100/2000 tentang Pengangkatan PNS dalam Jabatan Struktural
|
Persyaratan untuk
dapat diangkat dalam jabatan struktural, antara lain prestasi kerja
sekurang-kurangnya bernilai baik selam dua tahun terakhir.
|
Surat edaran Mendagri
800/4329/SJ tanggal 29 Oktober 2012 tentang Pengangkatan Kembali PNS dalam
Jabatan Struktural
|
Terhadap pegawai
negeri sipil yang telah menjalani hukuman pidana disebabkan tindak pidana
korupsi atau kejahatan jabatan lainnya agar tidak diangkat dalam jabatan
struktural.
|
Sumber
: Litbang Kompas
Berdasarkan
permasalahan yang terjadi saya menganalisis adanya kecenderungan pelanggaran
etika pada fenomena mantan pejabat terpidana korupsi yang kembali menjabat,
yaitu :
- Pelanggaran pada etika sosial, mengenai kepatutan dan kepantasan. Dimana pengangkatan pejabat tersebut memang secara hukum formal bukanlah sebuah pelanggaran. Yang mana pada Pasal 23 ayat 4, UU No.43/1999 tentang perubahan atas UU No.8/1974 tentang pokok-pokok Kepagawaian menyatakan bahwa PNS diberhentikan dengan tidak hormat karena dihukum penjara yang ancaman hukumannya empat tahun atau lebih dan melakukan pelanggaran disiplin tingkat berat. Dari aturan ini, belum bisa memberikan sangsi kepada pejabat terpidana tersebut karena rata-rata terpidana dihukum paling lama adalah 2, 5 tahun penjara. Walaupun demikian, tetap saja hal tersebut adalah pelanggaran terhadap etika. Dalam etika sosial bahwa pelaku korupsi adalah pelaku tindakan kriminal, walaupun telah dihukum maupun dikenai denda kejahatan korupsi tetaplah kejahatan. Merit system dalam pengangkatan pejabat dalam hal ini tidak ada, dimana PNS mesti memiliki nilai keteladanan, kejujuran dan integritas sebagai seorang pejabat publik tentunya telah rusak oleh perilaku ini.
- Pelanggaran terhadap etika politik, dimana etika politik didasarkan pada kondisi moral yang berdasar pada kepentingan publik. hal ini menyangkut terhadap keputusan pejabat ataupun pemimpin politik. Etika politik kemudian terlanggar dalam fenomena ini karena politik dijadikan sebagai penggunaan kekuasaan diatas kepentingan pribadi. Fenomena pengangkatan pejabat daerah yang merupakan bekas terpidana korupsi, disenarai didasarkan pada adanya kepentingan kepala daerah terhadap pejabat tersebut. Bisa jadi kemudian aspek kedekatan dan alasan pilkada, yang mana pejabat tersebut adalah tim sukses kepala daerah maupun donatur dalam pilkada. Disini kemudian legitimasi politik kepala daerah yang didapat dari pilihan politik masyarakat didaerah, dilanggar dengan menempatkan pejabat korup di jabatan struktural dan hal ini tentu bentuk pengabaian amanat rakyat.
- Pelanggaran etika birokrasi, dimana dengan promosi dan pengangkatan pejabat bekas terpidana korupsi ini memberikan gambaran tidak adanya integritas dalam birokrasi, juga kemudian tidak adanya keteladanan, kejujuran dalam aparatnya. Tidak berjalannya proses merit sistem menjadikan birokrasi yang hanya berorientasi pada kekuasaan dan besar dipengaruhi oleh politik, yang semestinya birokrasi adalah netral. Dari peristiwa ini juga, kemudian melanggar etika promosi jabatan. Dimana tidak memberikan peluang kepada pejabat bersih dan memiliki dedikasi tinggi untuk membentuk birokrasi yang bersih dan akuntabel serta berkeadilan sosial. Tentunya hal ini sejalan dengan pelayanan publik yang baik kepada masyarakat.
Kemudian mengapa pejabat korup tersebut tetap dianggkat menjadi pejabat,
meskipun pernah terjerat kasus korupsi. Jawabannya adalah karena adanya
kepentingan dan pengaruh dari politik, adanya memanipulasi dalam lembaga
pemerintah, dan
adanya pengaruh administrasi yang buruk.
PEMBAHASAN
Etika birokrasi
merupakan norma aturan yang melekat pada anggota atau aparat birokrasi itu
sendiri di manapun dan kapan dia berada, baik di kantor maupun di tengah-tengah
masyarakat dia terikat dengan aturan kepegawaian dan aturan norma dalam
masyarakat yang menjadi landasan etika dalam bertindak dan berprilaku dalam
melaksanakan tugasnya. Etika birokrasi bukan hanya sekedar retorika yang
didengungkan oleh pemerintah,akan tetapi bagaimana aplikasinya dalam berprilaku
sebagai aparat birokrasi. Dan bagaimana hukuman atau sanksi perlu ditegakkan
secara merata tanpa pandang bulu.
Birokrasi diharapkan menjadi pelayan masyarakat, abdi negara dan teladan
bagi masyarakat. Namun pada prakteknya, reformasi birokrasi yang bertujuan
luhur tersebut belum sepenuhnya berhasil diterapkan dalam pemerintahan kita.
Rendahnya kualitas pelayanan publik dan praktek-praktek korupsi masih
berlangsung hingga saat ini. Michael Lipsky (1980) menjelaskan bahwa birokrasi
street – level mempraktekkan pemberian diskresi atas dispensasi manfaat atau
alokasi sanksi. Lipsky berargumen bahwa praktek birokrasi bawahan tersebut
merupakan mekanisme untuk mengatasi situasi yang sulit, yakni sebagai upaya
untuk keluar dari situasi frustatif antara besarnya permintaan pelayanan dan
keterbatasan sumber daya yang dimiliki. Hanya saja, teori tersebut relatif
gagal menjelaskan fenomena terungkapnya kasus korupsi dan makelar kasus yang
melibatkan aparat Direktorat Jenderal Pajak, kejaksaan, MA, serta kepolisian.
Bila sumber daya yang dimaksud berkaitan dengan fasilitas institusi dan gaji,
pegawai di instansi-instansi tersebut telah mengalami perbaikan remunerasi,
pengembangan sumber daya manusia, dan reformasi ketatalaksanaan dalam beberapa
tahun terakhir. Artinya, gaji besar bukanlah merupakan faktor frustratif yang
menjadikan para pelaku tersebut melakukan diskresi bagi pihak- pihak yang
berperkara. Masih ada faktor lain yang menyebabkan mereka berbuat demikian. Etika
birokrasi seharusnya diterapkan aparatur negara dalam menjalankan tugasnya.
Dalam memahami konsep etika, kita harus berangkat dari pemahaman
mengenai moral. Moral menyangkut persoalan manusia dengan manusia. Misalnya
seseorang yang disukai banyak orang karena kebaikan hatinya meskipun ia kurang
dalam segi kualitas profesinya akan tetap dianggap sebagai orang yang baik.
Etika politik sendiri menyangkut tanggung jawab dan kewajiban dari manusia
sebagai manusia.
Aristoteles mengatakan bahwa identitas manusia yang baik dan warga negara
yang baik hanya terdapat bila warga negaranya baik. Jadi seseorang yang tidak
menyukai tindakan amoral dia akan baik sebagai manusia tetapi akan buruk
sebagai warga negara bila negara mensahkan tindakan amoral tersebut. Contohnya
adalah perjudian dsb (Suseno, 2003).
Peradaban manusia bukan hanya ditentukan oleh
tingginya nilai seni dari artefak yang diciptakannya, luasnya ilmu pengetahun
yang dijangkaunya, maupun aplikasi teknologi yang ditemukannya. Dalam banyak
segi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu justeru mendorong manusia
untuk bertindak korup dan melawan nuraninya. Itulah sebabnya Rousseau
menganjurkan supaya manusia kembali ke alam, retour a lanature. Bahwa
moralitas yang asli dan benar-benar manusiawi justeru ditemukan dalam manusia
yang masih alamiah. Bahwa manusia harus identik dengan dirinya sendiri untuk
mencari kebaikan dan kebenaran sejati (Kumorotomo, 1994, hal. 2).
Ketika membahas mengenai etika atau moralitas dalam
penyelenggaraan negara, pemikiran Rousseau ini agaknya masih relevan. Setiap
aparat birokrasi seharusnya kembali ke alam (retour a lanature), yang
berarti bahwa aparat birokrasi seharusnya bekerja berlandaskan pada moralitas
yang asli dan manusiawi. Moralitas yang asli dan manusiawi itu merupakan
perwujudan dari ide-ide agung.
Membahas mengenai
birokrasi dan etika yang berkaitan dengan itu, tentu kemudian birokrasi dilihat
sebagai sebuah organisasi publik dengan etika yang tercermin dalam aturan yang
berlaku dalam birokrasi. Namun juga, bahwa birokrasi tidak terlepas pada
keberadaan etika individu atau yang sering disebut sebagai etika kebajikan. Etika
ini berkenaan dengan individu dalam birokrasi, disini kemudian berkenaan
terhadap moral dari para birokrat tersebut.
Dengan terciptanya
nilai-nilai kebajikan dalam individu birokrasi (aparat birokrasi), kemudian
mendukung dalam penciptaan layanan dan tata pemerintahan yang baik dalam
birokrasi dan kepada masyarakat. Selanjutnya
administrator yang bajik (virtuous administrator) adalah yang berusaha,
seperti dikatakan oleh Hart (1995, dalam Kartasasmita, 1996) agar kebajikan
menjadi sentral dalam karakternya sendiri, yang akan membimbingnya dalam
perilakunya dalam organisasi. Akhirnya, etika profesional bagi aparat birokrasi
sangat ditekankan disini, dimana aparat birokrasi sebagai pengabdi masyarakat
tentunya menempatkan etika sebagai bagian dari proses pelayanan publik.
Saat ini menjadi permasalahan pokok di birokrasi
kita adalah menurunya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap proses birokrasi,
persoalan pelik lainnya adalah korupsi yang menggerogoti tubuh birokrasi.
Beberapa waktu lalu, santer terdengar kemudian pejabat terpidana korupsi
kembali dipromosikan bahkan diberikan jabatan struktural di pemerintah daerah.
Setidaknya terdapat 153 pejabat yang dipidana korupsi, dan telah
selesai menyelesaikan hukumannya kembali diberikan jabatan struktural didaerah.
Dalam pengangkatan dan promosi bagi pegawai
di daerah dalam jabatan struktural, Kemendagri sebenarnya telah mengeluarkan
surat edaran Mendagri nomor 800/4329/SJ tentang pengangkatan kembali PNS dalam
Jabatan Struktural. Surat edaran tersebut menegaskan bahwa bekas terpidana
dilarang jadi pejabat. Sedangkan mereka yang sudah diangkat harus
diberhentikan. Namun dalam prosesnya surat edaran tersebut disebutkan oleh
beberapa pihak bukan merupakan aturan yang memiliki kekuatan hukum yang kuat.
PENUTUP
Kesimpulan
Kembali menjabatnya para pejabat yang pernah tersangkut
korupsi telah merusak etika dan moral dari birokrasi Indonesia. Tidak
selayaknya mereka kembali mendapatkan jabatan dalam pemerintahan, terlebih
mereka mendapatkan kedudkan tersebut karena adanya kepentingan politik.
Birokrasi harusnya menjadi tempat bagi orang-orang yang profesional, beretika,
dan bermoral baik.
Setidaknya terdapat 153 pejabat yang dipidana korupsi, dan telah
selesai menyelesaikan hukumannya kembali diberikan jabatan struktural didaerah. Aturan Pasal 5, UU No.28/1999, Pasal 23 ayat 4, UU No.43/1999, Pasal 5, UU
No.100/2000, dan Surat edaran Mendagri 800/4329/SJ tanggal 29 Oktober 2012 masih belum bisa
dijadikan sebagai patokan bahwa pelanggaran terhapa etika birokrasi berkurang.
Seperti yang dikatakan Karl Marx dalam teorinya bahwa birokrasi tersebut adalah klasnya pemerintah
itu sendiri dan bukan klasnya masyarakat. Birokrasi
adalah instrument yang digunakan oleh klas yang dominan untuk melaksanakan
kekuasaan dominasinya atas klas-klas sosial lainnya. Karena adanya dominasi dari pihak
yang dominan inilah, yang menyebabkan birokrasi tersebut sering dijadikan
sebagia wadah perpolitik. Akibat dari perpolitikan itulah para pejabat yang
sebenarnya secara etika birokrasi tidak layak menjabat bisa tetap memperoleh
jabatan dalam pemerintahan.
Rekomendasi
Dari fenomena tersebut
diatas, maka penulis memberikan rekomendasi untuk memberikan masukan dalam
mencegah terjadinya pelanggaran etika, yaitu :
- Internalisasi nilai-nilai etika birokrasi, bukan saja kepada kepala daerah maupun pejabat tinggi didaerah namun juga ditingkat staff. Sehingga akan terbentuk sikap moral birokrasi yaitu tanggungjawab, jujur, kesetiaan, berorientasi pada keadilan sosial, resnponsif, dan mampu mengembangkan diri kearah yang lebih baik.
- Membuat Kode etik aparat birokrasi, yang kemudian bukan saja ditujukan untuk pejabat namun juga staff. Penguatan pada sangsi juga dilakukan, dimana ada sebuah sangsi hukum dan sangsi sosial. Untuk kasus pelanggaran etika yang besar, misalnya korupsi pemecatan secara tidak hormat adalah sangsi yang akan diterima yang bersangkutan. Hal inipun, tidak dilihat dari besaran jumlah maupun pidana yang dijatuhkan, ketika terbukti korupsi maka satu-satunya sangsi adalah pemecatan secara tidak hormat.
- Adanya good will semua pihak bahwa korupsi adalah kejahatan kemanusiaan, bukan saja sebatas oleh pemerintah pusat namun juga pemerintah daerah, dalam menciptakan pemerintahan yang bebas korupsi yakni dengan mengedepankan tegaknya etika para aparat birokrasi. Penghargaan kepada aparat dengan melakukan perekrutan berdasarkan kompetensi yang dimiliki (merit system), diperlukan untuk kembali membangun kepercayaan publik terhadap pemerintah.
- Penegasan Aturan Pengangkatan Pejabat Publik, khusunya kepada pejabat bekas terpidana korupsi. Saat ini upaya yang dilakukan Kemendagri melalui Surat Edaran memang belum bisa dijadikan patokan untuk tidak terulangnya dilanggarnya etika birokrasi. Untuk itu, melalui rencana Kemendagri bersama kementrian Pendayahgunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi akan membahas usulan aturan yang lebih tegas bahwa PNS yang divonis bersalah karena korupsi dan sudah berkekuatan hukum tetap langsung diberhentikan dengan tidak hormat yang diusulkan masuk dalam rancangan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara perlu adanya partisipasi publik dalam pemantauannya.
- Pengawasan dan evaluasi, dilakukan secara berkala terhadap kinerja aparat birokrasi. Dan kemudian diperlukan adanya transparansi agar masyarakat ikut mengawasi jalanya kode etik birokrasi, pemberdayaan masyarakat dalam hal ini diperlukan sebagai sarana penciptaan good governance
DAFTAR
PUSTAKA
- Zamroni, Muhamad. Progrissive Review: Verification Reverse Principle Implementation (Reversed Onus) Against Corruption. Indonesia Journal of Legislation Vol. 8 No. 2.
- Mulyadi, Mahmud. Corruption Reduction in Criminal Policy Perspective. Indonesia Journal of Legislation Vol. 8 No. 2.
- Kennedy, Anthony. “An Evaluation of the Recovery of Criminal Proceeds in the United Kingdom”. Journal of Money Laundering Control, Vol.10, No.1, Tahun 2007.
- Manzetti, Luigi (Southern Methodist University, Dallas, Texas), Wilson, Carole J (University of Texas,Dallas). Why Do Corrupt Goverment maintain Public Support (Mengapa pemerintah korup tertap mendapatkan dukungan public). Review Artikel Jurnal oleh Saptamaji, M.Rolip.
- Mahfud, Choirul. “Etika Politik, Moralitas Publik, dan Demokratisasi di Tingkat Lokal”, Jurnal Vol.2 No.2 Juni 2008; 53-69.
- Djakfar, Yunizir. “Implementasi Etika Birokrasi dalam Meningkatkan Akuntabilitas Aparat”. Artikel Jurnal Volume 4, No. 7 Juni 2011; 9 – 13.
- Septiyani Rridiyah, dan Swastha Dharma. “Reformasi Birokrasi Setengah Hati (Etika Aparatur Negara yang Terlupakan”. Artikel Jurnal Mahasiswa Magister Ilmu Administrasi Universitas Jenderal Soedirman.
- Ardisasmita, M. Syamsa . “Definisi Korupsi Menurut Perspektif Hukum Dan E-Announcement Untuk Tata Kelola Pemerintahan Yang Lebih Terbuka, Transparan Dan Akuntabel”. Artikel Jurnal KPK.
- Wijaya, Andy Arya Maulana. “Pejabat Terpidana Korupsi kembali Menjabat : Tinjauan Etika Birokrasi”. Artikel.
- Kartasasmita, Ginandjar. Etika Birokrasi Dalam Administrasi Pembangunan Tantangan Menghadapi Era Globalisasi, Makalah disampaikan pada Orasi Ilmiah Dies Natalis Ke -41 Fisipol UGM Yogyakarta, 19 September 1996
- Kumorotomo, Wahyudi. 1994, Etika Administrasi Negara, Cetakan ke-2, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
- MD, Moh. Mahfud. Etika Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara Berdasarkan Konstitusi. Makalah pada Kuliah Perdana Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Senin, 17 September 2012 di Gedung Grha Sabha Pramana UGM, Yogyakarta.
- Suseno, Franz Magnis. 2003, Etika Politik : Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kebegaraan Modern, cetakan ke-7, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Surat
Kabar :
- Kompas, Edisi Senin 5 November 2012, Bersihkan Pemerintahan; Masih Banyak Bekas Terpidana Korupsi Bercokol di Pemerintah Daerah, Hal 1 dan 15 kol.4-7.
- Kompas, Edisi Senin 5 November 2012, Thee Kian wie: Menanggulangi Korupsi di Indonesia, Opini Hal 6.
- Kompas, Edisi Selasa 6 November 2012, 153 PNS Bekas Terpidana; Sejumlah Pejabat di Daerah Tak Gubris Edaran Mendagri, hal 1 dan 15 kol.4-7.
- Kompas, Edisi Rabu 7 November 2012, Amanat Rakyat Diabaikan; Kepala Daerah Harus Punya Sensitivitas Tinggi Perangi Korupsi. Hal 1 dan 15 kol.4-7.
- Kompas, Edisi Rabu 7 November 2012, Rendy Pahrun Wadipalap; Arwah Birokrasi, Opini hal.6.
- Kompas, Edisi Kamis 8 November 2012, Promosi Eks Terpidana Korupsi; Beri Sanksi Kepala Daerah, hal.2.
- Kompas Edisi Jumat 9 November 2012, Cabut Sk Bekas Terpidana: Cederai Gerakan Pemberantasan Korupsi, hal 1 dan 15 kol.1-2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar